Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Izinkan Aku Berdosa Sekali Lagi

4 Mei 2021   00:38 Diperbarui: 4 Mei 2021   00:56 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay/JuiMagicman

"Jang"

"Jang!"

"Kalau boleh aku bercerita, sebenarnya ada sebuah hal yang sangat ingin aku lakukan saat ini, kamu mungkin tidak akan percaya, tetapi agaknya sudah cukup lama aku menahan semua keresahan sehingga membuat sel-sel otakku kaku karena endapan dari harapan yang tak kunjung terlaksana ini" Tuturnya.

Ia kembali melanjutkan dengan panjang lebar.

"Jang, entah mengapa, ketika aku melihat luasnya bahtera alam semesta ini, aku merasa tak memiliki kuasa dan daya upaya untuk sekedar memberikan sumbangsih barang sebiji zarah pun bagi peradaban yang terus berjalan. Aku hanya seorang manusia pandir yang banyak tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan itu, bahkan yang kutahu hingga kini, aku menginsyafi bahwa kerjaku seolah tak ada lain selain merenung dan mengeluh.

Jang. Sudah cukup banyak aku menyimak rupa-rupa fenomena yang terjadi di sekitarku. Aku banyak melihat peristiwa kontradiktif antara satu dengan yang lainnya di alam fana ini. Persoalan baik dan buruk terjadi bahkan di tempat dan waktu yang sama. Tidakkah ini menjadi sebuah gambaran bahwa kemanapun kita pergi keburukan akan selalu menghantui dan menyeret kita untuk tak lagi dan menjauh dari hakikat-Nya.

Jang. Mungkin engkau jenuh mendengar semua ocehanku ini, tapi kepada manusia mana lagi aku harus mencurahkan segenap perasaan yang sudah membuncah tak kuasa tertahan ini. Sekarang, aku adalah busur panah pada pegas yang berada pada titik tekanan tertingginya, bayangkan ragaku adalah sebagai panah dan akalku adalah busur yang tak tau oleh siapa, mungkin oleh lingkungan, mungkin oleh perasaan, atau mungkin tidak oleh siapa-siapa dipaksa dan ditarik sampai mencapai batas tali pegas mampu menopangnya.

Jang. Betul, aku sudah tak kuasa lagi untuk meluncur deras keluar dari setiap tekanan yang menghimpit, menginjak, dan mengungkung akal pikirku. Aku sangat memahami diriku sebagai mana aku memahami bahwa aku terlahir atas kehendak-Nya. Aku pun menyadari betul, bahwa aku telah gagal menjadi aku yang seharusnya menjadi aku yang paripurna sesuai Firman-Nya.

Jang. Aku mengetahui betul bahwa apa yang aku sampaikan padamu tak berarti sama sekali untukmu bahkan untuk diriku sendiri. Aku sadar aku hanya mampu mengeluh dan mengeluh, aku sadar kebodohanku yang mengantarkanku pada taraf yang memilukan ini. Sadar dalam ketidaksadaran itulah kesalahanku. Tahu mana yang baik tapi tak jua melakukannya, tahu mana yang buruk tapi malah mengikutinya.

Jang. Aku tak tahu apakah keluhanku ini berdosa atau tidak. Sudah kau ketahui, aku terlalu bodoh untuk menilai hal ini. Andaikan kala itu aku tidak tergesa-gesa mengikuti hawa nafsuku, keberadaanku mungkin akan jauh lebih baik. Jang, mungkin perlu kau tahu, ada sebuah hal yang selama ini aku idam-idamkan, tidak, ini bukan soal harta, bukan soal wanita, bukan pula soal tahta. Aku hanya ingin kembali di waktu aku belum berada pada situasi sekarang, aku mengulang semuanya kembali dari awal, sebuah fase suci yang bahkan membuat api neraka enggan menyentuhnya.

Jang. Apakah berdosa jika aku begitu menginginkan harapanku ini dikabulkan oleh-Nya? Apakah berdosa jika aku tak menerima apa yang telah menjadi ketetapan-Nya untukku? Andai kata ada mesin waktu yang membuatku bisa kembali ke masa lalu namun itu berdosa karena menentang kehendak-Nya, maka izinkanlah aku bedosa kali ini saja! Kali ini saja.

Jang. Memang ini terlalu naif, hasratku akan kembali pada masa lalu seolah akan betul-betul merubah semuanya. Tetapi, lihatlah aku yang sekarang! Aku tak mampu memaksimalkan kerja otakku, aku tak mampu memiliki sensibilitas hati yang tinggi, aku hampir tak memiliki raga yang sehat dan bugar, lalu apa yang harus aku banggakan?

Jang. Kau tak perlu risau dengan apa yang panjang lebar aku jelaskan soal keluhanku. Memanglah benar saat ini kondisiku tak sebaik yang aku ekspektasikan. Syahdan, kau juga perlu mendengar sedikit kisah perenungan atas masalah hidupku. Sudah cukup kau mendengar keluhanku yang tak karuan itu, sampai-sampai akupun lupa bahwa intinya cerita perenungan inilah yang menjadi hal utama yang hendak aku ceritakan.

Jang. Kau tahu, memang aku sudah lelah dengan keresahan dan cobaan hidup yang seolah silih berganti datang dan terus memburuku sampai tersungkur dan tak mampu berdiri tegak kembali. Aku terus mengeluh, mengeluh ke segala tempat kakiku berpijak. Seolah-olah aku hidup hanya untuk mengeluh dan terus menjadi orang yang kalah.

Jang. Betapa tersentaknya aku, saat kemudian datang seseorang, ia sama sekali sosok yang tak gentar dengan bengisnya kehidupan, ia seperti tak mengenal rasa lelah akan penderitaan dan cobaan dari-Nya. Sampai pada sebuah momentum, mungkin takdir menghendaki aku tuk selalu berkomunikasi dengannya, ya aku kini berada dekat dengannya.

Jang. Kau tahu, aku yang rendah ini jauh dan tak sebanding dengannya, aku kalah dalam segala hal, apalah aku yang hanya sebatas makhluk tukang mengeluh ini. Namun, ia tak jemu menyadarkanku dari kematian akal rasa yang kerap hinggap dalam jiwaku sampai aku kembali siuman dan mulai kembali menata kehidupanku yang kadung tercerai-berai ini.

Jang. Sampai akhirnya kini, aku teringat kepada janjiku tadi untuk berdosa, ya aku terlanjur sudah berjanji meskipun belum sempat aku laksanakan. Tetapi membatalkan janji untuk hal yang tak baik itu baik hukumnya bukan? Kalaupun tidak, maka izinkanlah aku berdosa sekali lagi. Terakhir kalinya yang aku sadari, bahwa sebenarnya aku ingin menerima segala takdir yang sudah menjadi garis hidupku, aku juga ingin memperbaiki setiap kesalahanku meskipun itu mungkin takkan termaafkan, aku pun ingin kembali menata masa depanku, masa depan yang aku yakini masih terdapat secercah harap untuk kebaikanku, agar kelak saat aku kembali kepada Ia yang memiliki, aku akan berjalan bersama orang-orang yang dimuliakan-Nya meskipun aku hanyalah manusia yang cuma bermodalkan sebuah niat untuk hidup sebagai makhluk yang baik."

Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Enjang yang masih keheranan.

"Hei tunggu, anda siapa?".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun