Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyangsikan Pembangunan Kesejahteraan

14 Februari 2020   19:26 Diperbarui: 14 Februari 2020   19:34 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Josemdelaa

Usaha manusia dalam menemukan dan merancang sebuah tatanan hidup yang baik tentu memerlukan upaya-upaya konkrit juga tersistematis. Dambaan akan kehidupan aman dan tentram dalam sejarahnya tidak terlepas dari kegiatan atau prosedur yang sudah dicoba dan diuji oleh banyak pemikir, sehingga saat inilah kita dapat merasakan pola sosial tersebut bekerja.

Benturan pemikiran jelas silih berganti terjadi diantara para perumus pola sosial. Ada pihak yang secara ajeg menyatakan bahwa manusia dalam menjalani keidupannya adalah mutlak kewenangannya sendiri. Ia berhak hendak menjadi apa dan mau bagaimana. Realitas menjadi objek yang sepenuhnya menjadi kebenaran, dan dirinya sendiri menjadi penentu kebenaran akan segala hal itu. Mereka berhak menilai apakah ini baik atau buruk, ini boleh atau tidak, dan ini layak dipercayai dan itu tidak layak diimani.

Di sisi lain, ada pihak yang menentang keras pemikiran di atas. Mereka menyanggah bahwa manusia tidak bisa bebas bertindak semaunya dalam segala hal. Ada batasan bagi manusia untuk tidak bisa melampaui sesuatu hal secara penuh. Manusia memang menjadi subjek, tetapi dalam lain hal ia juga menjadi objek bagi subjek yang lain.

Oleh karenanya, pendapat kedua mencoba membatasi laku hidup manusia dengan beragam aturan dan kebijakan. Hal ini dilakukan sebagai maksud untuk mencegah perbuatan kesewenang-wenangan yang dulu marak terjadi oleh para pemimpin tirani. Kebebasan individu terpaksa dibatasi guna mencegah ledakan birahi yang menghancurkan segalanya.

Seiring berkembangnya zaman, aturan-aturan yang dibuat untuk membatasi tindakan manusia mulai berkembang lebih jauh. Dulu aturan dibuat hanya untuk membatasi kesewenangan dalam ranah kekuasaan yang totaliter. Namun berbeda halnya dengan kini, terutama pasca perang dunia kedua. Pembatasan dan aturan yang dibuat mulai memasuki ranah pembatasan pemikiran.

Lalu mengapa pembatasan pemikiran ini dilakukan? Banyak hal yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Pertama, keinginan akan keteraturan. Alasan ini bisa saja benar jika melihat kepada luka masa lalu dunia yang penuh penjajahan, genosida, dan beragam tragedi kemanusiaan lainnya. Kejadian penuh luka itu menjadi pemicu mengapa pembatasan perlu dilakukan terhadap pemikiran ekstrim manusia.

Kedua, kepentingan politik. Di era pasca perang, konflik fisik bukanlah menjadi suatu hal yang bisa menilai dua belah pihak sedang bersengketa. Perang ekonomi dan politik juga menjadi faktor dua kubu bisa berperkara. Ekonomi dan politik sebagai tulang punggung kesehatan negara begitu kuat diperjuangkan oleh setiap negara. Tujuannya jelas guna kebermanfaatan warganya sendiri.

Perlu kita cermati bahwa kepentingan politik dan ekonomi yang gencar ini pada akhirnya harus membuat negara-negara bersepakat dan duduk bersama agar tidak ada yang berlaku berlebihan. Problema ini yang kemudian menghasilkan banyak aturan dan pembatasan bagi negara-negara agar berlaku tidak melebihi standar atau aturan yang sudah diterapkan.

Dibentuknya PBB dan beragam organisasi internasional lain semisal IMF, Bank Dunia, dan G20 seolah menjadi bukti bahwa pembatasan dan aturan adalah hal yang harus dijunjung tinggi sehingga tidak ada negara yang lebih unggul atau lebih rendah derajatnya.

Sejenak mari kita cermati uraian panjang di atas. Apakah benar keteraturan dengan berbagai macam prosedur yang dibuatnya itu berdampak besar bagi kemaslahatan manusia? Apakah benar aturan yang dibuat benar-benar dibuat dengan motif yang murni dan mulia?

Faktanya, dari bermacam kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dunia belum bisa memecahkan permasalahan sosial manusia, misalnya saja kemiskinan. Menurut data Oxfam, sebuah organisasi internasional yang bergrak di bidang advokasi, melaporkan bahwa kekayaan 26 orang terkaya hampir setara dengan kekayaan 3,8 miliar orang miskin dunia. Bukankah ini sebuah kenyataan yang fantastis sekaligus ironis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun