Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Tik Tok Reborn: Buried Alive

29 Januari 2020   17:41 Diperbarui: 29 Januari 2020   17:49 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Pexels

Beberapa waktu ke belakang saya sempat membedah hal-ihwal yang berkaitan dengan Tik Tok. Kala itu aplikasi Tik Tok menjadi sangat populer dengan unduhan mencapai 50 juta kali, dan di Indonesia sendiri Tik Tok begitu perkasa lewat beberapa artis fenomenal yang menjadi ikon Tik Tok seperti Bowo Alpenlieble.

Salah satu hal yang membuat geger pada kedigdayaan Tik Tok peridoe pertama adalah dengan adanya temuam meet and greet artis Tik Tok yang kabarnya dibanderol seharga ratusan ribu rupiah. Saya juga menyaksikan bahwa kalangan tua dan khususnya muda begitu keranjingan menggunakan aplikasi ini, mulai dari sekedar nonton sampai mulai memposting kreatifitas dirinya sendiri.

Jika diingat, saya dulu menuliskan tentang Tik Tok dengan begitu tajam dan keras. Saya membedah pokok persoalan ihwal Tik Tok dibalut dengan sedikitnya rasa emosi. Namun, sekarang akan saya rubah pendekatan analisis saya dengan sedikit lebih humanis.

Tik Tok. Ya, belakangan ini ia kembali merajai dunia sosial media di dunia dan termasuk di Indonesia dengan lebih dari 100 juta unduhan. Saya hampir melihat suatu kesamaan dengan kejayaan Tik-Tok periode pertama, aplikasi ini digunakan secara massif dengan memenuhi beranda di semua platform sosial media, semisal instagram, whatsapp, facebook, twitter, dan Youtube.

Betapa kita tidak akan heran ketika beberapa platform sosial media tadi lalu dengan mudah dan efisien menemukan unggahan banyak orang sedang bersuka ria menggunakan aplikasi Tik Tok. Sering kita lihat mereka berlenggak-lenggok, goyang kanan dan kiri ditemani alunan musik ritmis yang kemudian harmonis dengan gerakan tubuhnya.

Bahkan karena sering sekali melihat unggahan tersebut baik secara sengaja ataupun tidak, saya sendiri sampai hapal lagu-lagu dan goyangan hits yang ada pada aplikasi Tik Tok meski secara formal tidak menginstallnya. Misalnya goyangan entah apa yang merasukimu dengan suara gagaknya yang fenomenal. Ada juga goyang lagu siapa benar siapa salah yang kini sedang ngetrend itu.

Meskipun kadang ada semacam perasaan tidak ingin untuk melihatnya. Tetapi mau tidak mau, saya harus juga berhadapan dengannya. Seolah Tik Tok mengurung, mendekap, dan menarik saya untuk melihat setiap konten yang ada di dalamnya.

Sejenak saya berpikir, mengapa Tik Tok kembali lagi meraih kesuksesan setelah hancur beberapa tahun silam, dan bahkan sempat di blokir juga oleh pemerintah. Apa yang saya lihat hari ini memang agak berbeda dengan kondisi pada masa periode pertama. Konten tidak pantas saya lihat sudah mulai jarang muncul, misalnya pada beberapa tahun lalu viral juga video Tik Tok di suasana sakral semacam tempat orang meninggal.

Lalu muncul pertanyaan, apakah Tik Tok yang sekarang masih sama seperti kesimpulan saya beberapa tahun lalu, yang menyatakan bahwa aplikasi ini kurang bernilai guna dan bahkan saya menyebut pantas untuk dijauhi? Dalam pendekatan humanis dan multiperspektif tentu ini sulit untuk dijawab. Di satu sisi ia bisa saja bermanfaat, di sisi lain bisa juga lebih sedikit nilai kegunaannya dan bahkan cenderung destruktif.

Tentunya agar dapat menjawab pertanyaan di atas secara tuntas, saya harus memilih dalam perspektif mana saya harus menjawabnya. Oleh karena itu saya akan menggunakan perspektif pendidikan untuk menilai bagaimana aplikasi Tik Tok saat ini, dan dalam perspektif pendidikan penarikan kesimpulan pun jelas tidak bisa dianggap mudah.

Dalam perspektif pendidikan saya melihat Tik Tok ini tak ubahnya seperti orang memainkan instagram atau youtube. Konten yang ada di dalamnya tidak bisa kita mau hanya yang baik saja, konten tidak pantas pun tetap kadang ada, dan konten buruk inilah yang sebenarnya bisa berbahaya untuk generasi muda. Jika mereka terpapar konten yang negatif secara intens, maka secara psikologis ia bisa saja menganggap hal itu sebagai sebuah kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun