Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kesenyapan

24 November 2019   21:37 Diperbarui: 24 November 2019   21:38 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

Kelihatannya memang seperti tidak peduli, tidak perhatian, tidak mengawasi. Ya kelihatannya seperti itulah. Apa yang nampak di permukaan, di khalayak tergambar biasa, datar, bahkan monoton. Tanpa rasa dan tanpa inisiasi, semuanya biasa saja.

Bertegur sapa tidak, berbincang ria juga tidak. Semuanya tidak menunjukan apa-apa. Orang lain tidak ikut merasakan, bahkan dirimu sendiri pun tak juga mengetahui. Tidak seperti ada, tidak seperti senang. Semua mengalir begitu saja dalam aliran yang tertutup tabir kesembunyian.

Terlintas sebuah asa untuk menunjukannya pada kerumunan massa, tapi itu bukanlah gaya yang dinginkan. Lebih baik semuanya disimpan sendiri, biarpun dalam kesunyian, tanpa penghargaan. Itu lebih memiliki arti dan nilai walau tak ternilai di mata orang lain.

Jalan hidup yang kujalani tidak mendambakan sorakan dan tepukan yang menggema disana sini. Cukup aku sendiri atau beberapa saja orang tau. Begitupula soal rasa, ia yang kudamba terkadang tak merasakan kehadiranku disana. Tetapi itu bukan masalah, itu konsekuensi, memilih bungkam dan tak menunjukan. Ya, walau sesekali pedih, tak mengapa.

Soal pilihan memang aneh, ingin tapi seolah tak ingin, senang tapi seolah tak senang, peduli tapi seolah tak peduli. Sulit untuk dipahami dan diterima. Rumt, kompleks. Tak ayal banyak penilaian yang mengarah pada pribadi. Aku terlalu serius, terlalu pendiam, keras kepala. Meski sedikitnya benar, tak membuat diri sepenuhnya seperti yang sedikit benar itu.

Generalisasi orang dari yang sedikit itu terkadang membuatku miris. Lagi-lagi tak mengapa, ini konsekuensi jalan yang dipilih. Dan kembali lagi bahkan soal rasa pun aku mencoba memahami akibat dari pilihan ini. Ketidakpastian telah menjadi sahabat karib yang selalu menemani dikala perjuangan dalam kesendirian.

Jemu dan bosan telah menjadi kawan tiap kali keputusan mengarahkan pada titik yang tak bisa lagi dilangkahi olehku. Sehingga aku hanya bisa diam dan berdoa. Duduk dalam ruang penantian yang gelap, lalu lama setelah itu keluar dengan bisu dan tak tau arah, bahkan tanpa sambutan. Tak mengapa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun