Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tulisan yang Membebaskan

27 Oktober 2019   18:20 Diperbarui: 27 Oktober 2019   18:30 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

 Di bawah rezim kapitalis, tulisan hanya diartikan sebuah kata--kata yang dapat menguntungkan pihak yang berani membayar lebih. Tulisan yang dibuat adalah murni untuk kebutuhan politis dan ekonomis, bukan sebagai sarana pencerdasan apalagi pembebasan.

Orde perbudakan akal dan daya nalar tak akan lama lagi menemukan titik klimaks jika tidak ada tulisan penetralisir. Saat ini dibutuhkan tulisan tandingan yang berisi pencerdasan dan perlawanan. 

Tentu bukan untuk menciptakan peperangan, namun untuk menjernihkan pemikiran. Telebih lagi, tulisan yang bernuansa kritis tentu amat diperlukan dan diviralkan sebagai alat pembebasan.

Segala kebobrokan dan keteledoran yang ada tentu tidak boleh lepas dari pengamatan kita. Disinilah tulisan kritis diperlukan. Banyak aspek yang perlu mendapat kritikan mulai itu dari pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, dan aspek lainnya. Patut disadari, saat ini kita memang kehilangan penulis--penulis muda yang progresif, kita berada dalam kekosongan generasi pemikir handal.

Kita pernah mempunyai banyak penulis progresif yang lewat tulisan mereka banyak jiwa--jiwa yang merdeka dan lepas dari jerat perbudakan akali. Nama--nama seperti Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Soekarno merupakan sedikit dari generasi emas kepenulisan kita yang bahkan nama mereka diakui secara internasional, dan tentu saja nama mereka akan abadi dalam sejarah peradaban manusia.

Sekarang bukan tidak ada para penulis progresif di negeri ini. Hanya saja kini nama mereka tak digemari masyarakat. Sejak rezim orde baru, tulisan yang bernuansa kritis dianggap dan dicap sebagai sebuah tindakan pemberontakan pada negara, ironisnya kebijakan orde baru tersebut seolah diamini oleh mayoritas masyarakat kita. Hal ini yang membuat mengapa para penulis kita yang progresif kurang mendapatkan simpati dari masyarakat.

Akibat dari minimnya tulisan kritis dan transformatif, masyarakat menjadi rendah daya nalarnya, mereka atau bahkan kita menjadi kurang peka terhadap segala sendi permasalahan bangsa, mereka cenderung menjadi manusia yang individualistis. 

Lebih parahnya lagi, akibat kekurangan tulisan kritis yang beredar, masyarakat menjadi budak penguasa karena ketidakmampuannya menganilisis setiap permasalahan dan kebijakan yang dibuat kelas dominan secara kritis.

Penulis katakan bahwa saat ini kita sangat amat butuh tulisan kritis yang penuh aroma pembaharuan dan pencerdasan. Kita tidak bisa membiarkan masyarakat menjadi korban akibat ketiadaan tulisan yang kritis, dimana dengan tulisan itu masyarakat menjadi peka akan masalah bangsa, dengan tulisan itu pula masyarakat terlepas dari pemenjaraan akal dan terbangun kesadaran kritisnya. Kita butuh tulisan yang membebaskan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun