Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Warteg?

20 Oktober 2019   20:17 Diperbarui: 20 Oktober 2019   20:18 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakalanya sebuah perjalanan singkat bahkan terkesan biasa saja mampu menghadirkan sebuah pesan mendalam yang menggugah. Kisah ketika mata melihat sebuah fenomena ironi, kisah tentang kronik dan pergumulan yang kadang tak terasa sebagai suatu masalah.

Hal itu bermula pada momen yang tak disengaja. Saya masih ingat, tatkala bercengkrama dengan suasana kota, keadaan riuh rendahnya cukup memekakan telinga. 

Bunyi klakson saling bersahutan, mereka dibunyikan karena rupa-rupa alasan, keperluan kecepatan, keperluan pekerjaan, dan mungkin ada rasa ketidaksabaran.

Belum lagi desak-desakan diantara para pejalan kaki menjadi hal lumrah di kesaharian perkotaan. Apalagi di destinasi wisata dan pusat perbelanjaan. Orang-orang berseliweran kesana kemari untuk memuaskan hasrat diri. Tua muda berjalan bersama menenteng belanjaannya, bergembira karena sudah terpenuhi hajatnya.

Aku paham, pada satu kala, ya, mungkin akibat lelah mencari dan berkelana memuaskan diri, orang-orang perlu juga memperoleh ganti atas energi yang dikeluarkan. 

Tak heran, di kota, industri makanan menjamur di setiap sudutnya. Dan, ditengah kotanya sudah bisa ditebak, mereka saling mengadu kualitas makanannya.

Nampaknya banyak yang tertarik pula atas keberadaannya. Di sisi ia berfungsi sebagai pemuas rasa lapar, ia juga berfungsi sebagai penyeimbang gaya kehidupan. 

Ya, mereka bermetamorfosa bukan lagi sebagai penyedia makanan semata. Segala yang ada di dalamnya menyesuaikan pangsa pasar dan tren di kalangan setiap lapisan masyarakat.

Analisis pasar dan budaya yang telah mereka lakukan rupanya telah mencapai keberhasilan. Ini dapat kiranya dibuktikan dengan pergesaran kebiasaan dan minat masyarakat soal makanan. Ini memang hanya sebuah asumsi tanpa dasar ilmiah, tapi lebih dari itu saya juga mempercayai bahwa dasar nuraniah pun tidak bisa dianggap sepele.

Apa yang terjadi? Orang-orang kini suka dengan produk yang mereka tawarkan, lewat foto makanan yang menggiurkan, lewat tempat dan pelayanan yang berdesain indah dan higienis, lewat iming-iming promo yang menguntungkan, lewat segudang inovasi yang memanjakan lidah dan memuaskan hasrat diri.

Lalu apa? Ya orang-orang tertarik, menjadi ketagihan dan membuat itu sebagai kebutuhan serta gaya hidup. Maka tak heran, jika mereka meluaskan ekspansi pasarnya ke segala wilayah. Dari sinilah kemudian kisah ironi itu ada dan cukup mengkhawatirkan.

Kepulangan dari hiruk pikuk perkotaan mempertemukan saya dengan momen itu. Pengamatan tentang suasana kota dan sepanjang jalan pulang, terutama industri makanan terkompilasi saat berpapasan dengan sebuah warung makan sederhana. Tempatnya kecil, menunya pun sedikit, dan tentu tidak ada spanduk yang menawarkan promo makanan ini itu.

Sebelumnya, di sepanjang jalan, saya melihat orang-orang dengan bahagia melenggang masuk ke bermacam restoran ternama dan trendi. Membuka pintu masuk dengan disambut ramah oleh para pekerja dan lantas sekejap menyantap makanannya dengan nikmat dan ademnya ruangan disana.

Motor yang saya tumpangi, tak jauh dari restoran itu, kemudian melewati sebuah warung kecil. Kondisi macet saat itu memungkinkan untuk bisa mengamati lebih lama. 

Di dalamnya, tepat disamping etalase makanan, terlihat seorang wanita parubaya. Ia duduk di sebuah kursi plastik sambil menatap ke arah jalan.

Saya tidak melihat warungnya ramai seperti restoran yang tak jauh dari tempatnya. Di dalamnya tidak ada pembeli yang dengan bahagia menyantap makanan hasil olahannya. Saat itu hari sudah sore, banyak pejalan kaki yang lalu lalang namun tak terlihat mereka masuk dan memesan sebuah makanan.

Pada etalasenya, menu makanan ditulis pada secarik kertas, bukan berupa spanduk atau kertas hasil print komputer. Menu itu ditulis dengan harapan tentu agar mereka yang melintas dapat membaca dan kemudian menikmati menu makanan yang dihidangkan. 

Tetapi, entah mengapa itu kurang memberi penjelasan kepada para pembeli untuk makan ditempatnya.

Seminggu kemudian, saat hendak ke kota, saya kembali berkesempatan melalui warung makan itu. Kembali, si Ibu persis seminggu lalu, duduk di samping etalasenya sambil memandang ke jalan, saya tengok sebentar, di dalamnya tidak ada pembeli. 

Sementara itu, tak jauh darinya restoran makanan sudah penuh dikerumuni oleh para pembeli.

Betapa iba melihat hal ironis seperti itu. Saat sebuah kebiasaan dan gaya hidup terkadang mengalihkan humanitas kita. 

Menikmati hidup dengan masuk ke dalam tren memang tidak bisa disalahkan, dan terkadang bagi sebagian orang perlu untuk melepas beban pikiran. 

Namun, kiranya saat kita dipertemukan dengan kejadian ironi seperti ini, perlu sesekali kita mendengar dan mengikuti suara hati, suara nurani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun