Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Warteg?

20 Oktober 2019   20:17 Diperbarui: 20 Oktober 2019   20:18 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepulangan dari hiruk pikuk perkotaan mempertemukan saya dengan momen itu. Pengamatan tentang suasana kota dan sepanjang jalan pulang, terutama industri makanan terkompilasi saat berpapasan dengan sebuah warung makan sederhana. Tempatnya kecil, menunya pun sedikit, dan tentu tidak ada spanduk yang menawarkan promo makanan ini itu.

Sebelumnya, di sepanjang jalan, saya melihat orang-orang dengan bahagia melenggang masuk ke bermacam restoran ternama dan trendi. Membuka pintu masuk dengan disambut ramah oleh para pekerja dan lantas sekejap menyantap makanannya dengan nikmat dan ademnya ruangan disana.

Motor yang saya tumpangi, tak jauh dari restoran itu, kemudian melewati sebuah warung kecil. Kondisi macet saat itu memungkinkan untuk bisa mengamati lebih lama. 

Di dalamnya, tepat disamping etalase makanan, terlihat seorang wanita parubaya. Ia duduk di sebuah kursi plastik sambil menatap ke arah jalan.

Saya tidak melihat warungnya ramai seperti restoran yang tak jauh dari tempatnya. Di dalamnya tidak ada pembeli yang dengan bahagia menyantap makanan hasil olahannya. Saat itu hari sudah sore, banyak pejalan kaki yang lalu lalang namun tak terlihat mereka masuk dan memesan sebuah makanan.

Pada etalasenya, menu makanan ditulis pada secarik kertas, bukan berupa spanduk atau kertas hasil print komputer. Menu itu ditulis dengan harapan tentu agar mereka yang melintas dapat membaca dan kemudian menikmati menu makanan yang dihidangkan. 

Tetapi, entah mengapa itu kurang memberi penjelasan kepada para pembeli untuk makan ditempatnya.

Seminggu kemudian, saat hendak ke kota, saya kembali berkesempatan melalui warung makan itu. Kembali, si Ibu persis seminggu lalu, duduk di samping etalasenya sambil memandang ke jalan, saya tengok sebentar, di dalamnya tidak ada pembeli. 

Sementara itu, tak jauh darinya restoran makanan sudah penuh dikerumuni oleh para pembeli.

Betapa iba melihat hal ironis seperti itu. Saat sebuah kebiasaan dan gaya hidup terkadang mengalihkan humanitas kita. 

Menikmati hidup dengan masuk ke dalam tren memang tidak bisa disalahkan, dan terkadang bagi sebagian orang perlu untuk melepas beban pikiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun