Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adicinta: Prelude

15 September 2019   22:47 Diperbarui: 15 September 2019   23:01 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Klimkin

"Ooohhh  juwita

Mengapa kau dan aku berbeda

Sampai-sampai aku kini tak berdaya

Berjalan kembali, ragu mengucap kata"

Ya, ini sudah yang kesekian kalinya aku gagal lagi meneruskan niat. Mengucap cinta. Rena, gadis berparas rupawan, mengambil hatiku sejak pertama kali bersua dengannya. Perempuan berkulit kuning langsat dengan mata sipit itu pertama kali kulihat saat ia sedang memasuki perpustakaan. Aku yang kala itu tengah memilah milih buku, sampai tertegun beberapa saat ketika sorot mata tepat beradu pandang dengannya.

Betul, senyum manis yang tergariskan rapih pada mimik wajahnya menebar ketenangan dalam hati. Dan, melabuhkan rasa cinta padanya tentu saja! Saat kutahu bahwa Rena adalah mahasiswa fakultas manajemen dan bisnis, sudah kuduga sejak awal kalau ia pasti berasal dari kalangan orang yang mampu. Orang kaya.

Hal itu kemudian bisa kulihat dari setelan fashionnya yang elegan namun menyimpan banyak kemewahan di dalamnya. Bajunya memang tidak necis, tapi merknya setahuku ada brand internasional, begitupula sepatu yang dipakainya. Tasnya yang aku tahu memang brand lokal, namun jangan salah dengan hargnya. Itu setengah biaya kuliahku satu semester!

Memang repot jikalau rasa cinta sudah tergugah dari ruang kegelapan. Ia bagaikan kuda yang lepas dari pedati. Kabur, liar, sulit dikendalikan. Padahal aku sudah membatasi diri akan hasrat cinta yang kumiliki. Aku memagarinya dengan batasan yang tidak mampu kuraih. Batas itu diantaranya adalah batas ekonomi, sosial, dan fisik.

Tapi Rena, oh mengapa engkau sampai-sampai membuatku bukan saja melompati pagar yang susah payah kubangun, namun sekaligus menghancurkannya sampai rata dengan tanah. 

Sapaanmu kala itu masih kuingat sampai saat ini, yang dari situlah hasrat cintaku padamu sukar sama sekali untuk dipadamkan. Tanganmu menunjuk-nunjuk ujung buku. Mata kecilmu menelisik pula dengan tajam. Kulihat juga bibirmu berkomat-kamit, nampaknya mambaca judul buku. Sampai kemudian engkau mungkin frustasi karena tak menemukan buku yang dicari. Engkau terunduk Rena. Ya, karena aku memperhatikanmu, sejak pertama kali kau masuk ke ruangan itu.

"Kok nggak ada ya" Katamu sambil menampakan ekspresi terheran-heran. Aku sejenak diam dan berpikir "Dia nyari buku apaan sih? Kasian juga". Tapi, jujur aku tidak sama sekali berani untuk membantumu. Aku malu. Walau membantu adalah sebuah kebaikan. Entahlah aku malu. Seperti ada dua kutub yang sama kuat saling tarik menarik untukku memilih keputusan mana yang harus kupilih. Membantumu atau diam memperhatikanmu.

Tentu saja aku memilih diam. Sudah kukatakan aku terlalu malu untuk bangkit dan menawarkan bantuan padamu. Akhirnya engkau memang benar-benar kebingungan sendiri atas keputusanku ini. Maafkanlah. Lalu kemudian, kejadian itu ada dan merubah semuanya, menjadi tonggak sejarah perjalanan hidupku. Hingga sekarang.

Engkau yang kebingungan, lantas mondar-mandir, dan lalu pada satu saat kau menatapku. Tatapan yang takkan terlupa. Mungkin. Engkau lantas berjalan mendekatiku dengan pasti. Aku sendiri, tidak terlalu berharap pada momen itu. Kukira kau tak sengaja saja menatapku dan akan berjalan melewatiku saja. Tetapi tak kusangka, engkau menyapaku.

"Maaf, Mas" Katamu tergagap "Numpang tanya, kalau barisan buku bisnis sebelah mana ya?"

Darahku terkesiap, aku yang kala itu pura-pura membaca buku, lagi-lagi karena aku malu padamu, hanya menjawab dingin "Itu di lantai 2, ada di klass E"

Aku sadar, pasti engkau bingung dengan jawabanku, sehingga kau perlu lagi bertanya "Maaf, itu di sebelah mana ya mas?"

Baiklah Rena, aku kalah untuk tidak peduli padamu. Sebetulnya bisa saja aku jelaskan dengan kata-kata, lalu engkau melengos sesuai arahanku. Tapi kala itu aku bangkit, entah mengapa.

"Mari, saya antar mba" Jawabku dengan ramah

"Oh maaf, terimakasih ya mas" dan engkau membalasku dengan malu

Sepanjang jalan di perpustakaan itu, hatiku berdebar Rena. Engkau rasanya terlalu menimbulkan dampak yang berlebihan padaku. Bahkan aku sama sekali tidak berani melihat ke belakang. Ya, ke arahmu. Perasaanku mengatakan engkau masih berjalan di belakangku, itu dibuktikan dengan suara berjalanmu yang lembut.

Tak lama, tugasku selesai untuk mengantarmu ke tujuan. Aku rasa tidak ada hal lagi yang bisa kubantu padamu. Sehingga aku bergegas pergi. Saat hendak melangkah pergi, suaramu selama beberapa saat menahanku berjalan menjauh

"Mas, maaf merepotkan, terimakasih sudah membatu" Katamu

Aku hanya mengangguk saja mendengar ucapanmu. Lagipula kau selalu saja berkata maaf. Mulutku terasa berat untuk sekedar mengatakan "Sama-sama" apalagi untuk menanyakan siapa namamu. Jangankan sejauh itu, menatap bola matamu saja seolah adalah hal terberat yang pernah ku alami.

Lantas mengapa kejadian aneh ini bisa menimpaku? Dan mengapa padamu? Terus terang aku sendiri tak paham. Mungkinkah yang sering dikatakan orang tentang cinta pada pandangan pertama adalah begini adanya? Tapi itu dulu Rena. Saat pertama kali kita bertemu. Saat aku belum tahu engkau siapa, dari kalangan mana.

Sekarang? Aku tak yakin. Engkau dan aku ibarat langit dan bumi. Berbeda kasta. Biar kata orang itu takkan jadi penghalang, namun keraguan begitu berkecamuk dalam hatiku. Akalku selalu diganggu pemikiran "Aku siapa dan engkau siapa". Kita memang sama-sama manusia Rena. Diciptakan dari tanah, sama makan nasi, sama bernapas. Itu soal hakikat. Soal kodrat.

Berbeda dengan nasib. Kastamu bukanlah kasta yang setara denganku. Bagiku sendiri tak pantas bersanding denganmu. Jauh secara materi, jauh secara histori, jauh juga secara status sosial. Engkau terpandang, mapan sejak dari pendahulumu. Bukan tak bisa bersama denganku, hanya tak lumrah saja, seolah tak layak. Tak mengapa Rena, aku memahami itu. Kuterima kenyataan pahit ini.

Dan lagi, apakah engkau akan mampu bertahan denganku? Dengan cercaan atas akselerasi yang keluar dari zonamu yang terpandang itu? Tidak Rena. Engkau sudah seharusnya begitu. Cukup aku yang mundur dan memutar balik hasratku yang bebal dan berlebihan ini. Biar aku menjinakannya, beri aku sedikit waktu untuk melakukannya, niscaya ia akan berkurang dan hilang. Percayalah.

Pengetahuanku akan latar belakangmu sungguh memilukan. Padahal seminggu lalu rasa cintaku terpatri padamu, tetapi sekarang? Rumit. Perlukah tetap aku memaksakan diri meski itu berarti keluar lebih jauh dari batas-batas yang sudah sedari awal aku runtuhkan. Tidakkah berbahaya?

Seolah semuanya begitu mudah tatkala hanya mengingat dirimu. Begitupula yang terjadi setelah aku tahu seluk beluk tentangmu, engkau ternyata masih mengingatku, dan perjumpaan kedua beberapa waktu lalu seperti memberi spirit untuk meninggalkan pola pikiran penuh batasanku ini.    

To be continued

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun