Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adicinta: Prelude

15 September 2019   22:47 Diperbarui: 15 September 2019   23:01 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Klimkin

Aku hanya mengangguk saja mendengar ucapanmu. Lagipula kau selalu saja berkata maaf. Mulutku terasa berat untuk sekedar mengatakan "Sama-sama" apalagi untuk menanyakan siapa namamu. Jangankan sejauh itu, menatap bola matamu saja seolah adalah hal terberat yang pernah ku alami.

Lantas mengapa kejadian aneh ini bisa menimpaku? Dan mengapa padamu? Terus terang aku sendiri tak paham. Mungkinkah yang sering dikatakan orang tentang cinta pada pandangan pertama adalah begini adanya? Tapi itu dulu Rena. Saat pertama kali kita bertemu. Saat aku belum tahu engkau siapa, dari kalangan mana.

Sekarang? Aku tak yakin. Engkau dan aku ibarat langit dan bumi. Berbeda kasta. Biar kata orang itu takkan jadi penghalang, namun keraguan begitu berkecamuk dalam hatiku. Akalku selalu diganggu pemikiran "Aku siapa dan engkau siapa". Kita memang sama-sama manusia Rena. Diciptakan dari tanah, sama makan nasi, sama bernapas. Itu soal hakikat. Soal kodrat.

Berbeda dengan nasib. Kastamu bukanlah kasta yang setara denganku. Bagiku sendiri tak pantas bersanding denganmu. Jauh secara materi, jauh secara histori, jauh juga secara status sosial. Engkau terpandang, mapan sejak dari pendahulumu. Bukan tak bisa bersama denganku, hanya tak lumrah saja, seolah tak layak. Tak mengapa Rena, aku memahami itu. Kuterima kenyataan pahit ini.

Dan lagi, apakah engkau akan mampu bertahan denganku? Dengan cercaan atas akselerasi yang keluar dari zonamu yang terpandang itu? Tidak Rena. Engkau sudah seharusnya begitu. Cukup aku yang mundur dan memutar balik hasratku yang bebal dan berlebihan ini. Biar aku menjinakannya, beri aku sedikit waktu untuk melakukannya, niscaya ia akan berkurang dan hilang. Percayalah.

Pengetahuanku akan latar belakangmu sungguh memilukan. Padahal seminggu lalu rasa cintaku terpatri padamu, tetapi sekarang? Rumit. Perlukah tetap aku memaksakan diri meski itu berarti keluar lebih jauh dari batas-batas yang sudah sedari awal aku runtuhkan. Tidakkah berbahaya?

Seolah semuanya begitu mudah tatkala hanya mengingat dirimu. Begitupula yang terjadi setelah aku tahu seluk beluk tentangmu, engkau ternyata masih mengingatku, dan perjumpaan kedua beberapa waktu lalu seperti memberi spirit untuk meninggalkan pola pikiran penuh batasanku ini.    

To be continued

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun