Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Babad Ikhwan Mistis: Muktamar Kaum Mistis (Part 1)

29 April 2019   20:10 Diperbarui: 29 April 2019   20:24 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

Yai Izan datang dengan wajah sumringah. Nampak garis mukanya menyiratkan suasana hati yang tenang dan bersahaja. Dari kejauhan juga, terlihat tangannya menenteng sebuah kresek yang cukup besar. Wahyu dan Dede menerka-nerka apa gerangan yang dibawa oleh Yai Izan, mungkin makanan, minuman, atau sekedar barang bawaan pribadi miliknya.

Tak lama ia kemudian duduk tepat menengahi barisan kaum proletar dan borjuis. Bursh dan Ivan Nampak tertegun dan takzim melihat Yai Izan duduk dan bergabung dalam forum ini. Ical yang juga segan bertemu langsung dengan Yai Izan lekas menawarkan diri untuk mengambilkannya minuman "Pak Yai, bade Minum nteu?" Yai Izan seketika melihat kepada Ical dengan intonasi yang cukup tinggi "Moal!".

Sontak jawaban darinya membuat para ikhwan bro dan pro kaget. Apalagi Bale, Egi, dan Izal. Muka mereka dalam sekejap menjadi pucat. Bursh dan Ivan bahkan sampai geemetaran. Begitu pula dirasakan oleh Wahyu dan Dede, bulu kuduknya merinding. Jelas mereka kaget, mengapa tiba-tiba Yai Izan kelihatan marah seperti ini.

Ical hanya bisa tertunduk mendengar jawaban dari Yai Izan. Ikhwan pro dan bro juga tidak ada yang berani berbicara. Suasana menjadi hening dan sepi. Kondisi mencekam mulai dirasakan oleh semuanya. Detak jantung para ikhwan bro dan pro yang hadir pada forum ini bahkan terdengar saling bersahutan antara satu dengan lainnya saking kencangnya. Darah mereka terkesiap, alirannya serasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Kaki dan jemari menjadi kaku susah bergerak. Bahkan kepala tak kuasa menengadah untuk sekedar melihat muka Yai Izan.

Kurang lebih lima menit suasana masih sunyi. Dalam jangka waktu itu, kicauan burung mulai sedikit memasuki area forum ikhwan pro dan bro di selasar masjid itu. Suara jangkrik tak kalah ikut melenggang dengan damai memasuki forum. Bahkan suara tokek begitu nyaring terdengar dan menggema di sekitar area forum.

Sampai menit kedelapan, Duls mulai gerah juga dengan situasi diam ini. ia mulai mendehem dan berpura-pura batuk. "Ekkkhhh, ekkhhhhmmm, uhhu uhhuuu ha ha ha ha hachiiiimmm!" Urip juga mulai melakukan hal yang sama, kemudian disusul Wahyu dan Bale. Sampai pada satu ketika Ya Izan membuka percakapan "Udah mikirnya?" Para Ikhwan mistis hanya terbujur kaku, mulut mereka seperti bungkam dan menolak berbicara.

"Udah mikirnya ?!" Tanya Yai Izan, kali ini dengan nada yang meninggi.

"Mikir apa Yai?" Roy menanya balik.

"Kalian pikir saya kesini itu mau apa?" Yai Izan menimpali lagi mereka dengan pertanyaan.

"Apa Pak Yai?" Dede kini menanya balik.

"Apa kalian tidak sadar dengan yang sudah kalian lakukan? Kalian tidak merasa bersalah dengan kegaduhan yang sudah kalian ciptakan?"

Wahyu dan Ical kemudian saling memandang. Tampaknya mereka coba meyakinkan satu sama lain bahwa hal yang sedang ingin diutarakan oleh Yai Izan tak lain perihal bentrokan antara ikhwan borjuis dan proletar. Ical mengangguk kepada Wahyu dan kemudian berbicara.

"Apa ini perihal ikhwan pro dan bro Pak Yai?"

Yai Izan menengok kepada Ical, ia manatap ical lalu kepada semua orang, baik itu kaum pro dan bro.

"Saya mendapat banyak keluhan soal keributan yang ditimbulkan oleh kalian, mahasiswa biasa yang tidak terlibat dalam kontestasi kalian pada akhirnya merasa tersahkan" Balas Yai Izan.

"Kalian pikir kontestasi diantara kalian tidak menimbulkan perkara? Kita lihat, gara-gara hal macam begini, kita sesama saudara satu kampus menjadi terpecah belah, apa kalian tidak sadar?" Tambahnya.

"Kalian ini...." Yai Izan coba melanjutkan "Terlalu fokus kepada kehendak masing-masing, terlalu egois dengan kemauan pribadi, menghalalkan kontestasi yang tidak fair, sampai lupa bahwa kita ini saudara yang seharusnya bisa saling mendukung dan menghargai".

Izal, Bursh, dan Bale kompak menunjukan air muka yang lesu. Wahyu, Ivan, Mou dan Iman pun demikian, mereka fokus mendengar wejangan dan kritikan yang tengah disampaikan oleh Yai Izan. Sedangkan Roy, Egi, dan Babe kini mulai menampilkan kerutan di dahi, mereka berpikir keras, merefleksi diri. Mata Edik malah sampai terlihat berlinangan air mata.

Dede kemudian menanggapi perkataan Yai Izan.

"Maaf Yai, tapi ini gara-gara kaum bro!"

"Enak aja, lu tuh yang salah" Balas Bursh ketus.

"Heh lu kali, nggak nyadar juga lu yah" Timpal Ical.

"Parah, lu yang rese" Balas Edik.

Yai Izan Nampak mendiamkan perdebatan yang tengah terjadi antara kaum pro dan bro. Ia kemudian berpikir bahwa betapa berbahayanya kontestasi macam begini bagi keutuhan dan stabilitas kampus. Petuah yang baru saja ia berikan seolah hampa dan tak bernilai guna di hati para ikhwan pro dan bro. Ia membayangkan pula bagaimana jika kontestasi ini dibiarkan begitu saja, tentu akan membuat binasa seisi kampus.

Yai Izan kemudian teringat pada pesan dari gurunya, soal hawa nafsu, jangankan orang lain, saudara sendiri pun kau penggal. Betapa bahayanya hawa nafsu jika terlepas dari genggaman jiwa seseorang. Ia akan merusak dan menyerang membabi buta, pikirnya. Hal ini yang dirasa oleh Yai Izan tengah mendera para kaum pro dan bro. Ambisi mereka terhadap satu hal telah membuat mata, akal, dan hati mereka menjadi runyam dan kelam.

Di sisi lain Yai Izan masih saja mendiamkan pergumulan yang masih terjadi antara kaum pro dan bro. Bahkan kini lebih panas dan mencekam. Bale bahkan mulai mengacunkan simbol perkelahian dengan jari tangannya. Dede tak kalah dan memabalasnya dengan ujaran kebencian. Namun lagi-lagi Yai Izan masih saja tetap mendiamkannya.

Lama kelamaan, di tengah arus perdebatan yang tak lagi sehat, Wahyu keheranan juga "Kok Yai Izan malah diem-diem bae" Pikirnya dalam hati. Bahkan tatkala perdebatan panas antara Duls, Babe, dan Mou melawan Egi dan Ivan, Yai Izan malah dengan santai menyeruput segelas kopi dan memakan beberapa gorengan yang ada.

Di pihak kaum bro, keadaan ini juga dirasakan oleh Eri. Ia heran atas pendiaman yang dilakukan oleh Yai Izan. Ingin ia menyuruh Yai Izan untuk melerai perdebatan yang sedang terjadi, namun Eri tak bisa melakukannya. Apa yang sebenarnya yang ada di pikiran Yai Izan, mengapa hal ini malah ia biarkan terjadi? Mengapa?

To be continued! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun