Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Elegi Senja dari Aku Si Pahlawan yang Engkau Campakkan

28 April 2019   14:58 Diperbarui: 28 April 2019   15:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Antranias

Berlinang deraslah sudah air mataku, sekuat apapun ku menahan rasa pedih ini tetap saja cucuran dari kelopak mata tak dapat terbendung. Kecewa, kesal, dan kebencian tercampur aduk dalam sukma. Jiwa dan hati terkoyak bak buah - buahan yang digiling dalam sebuah blender. Nahas, bukan kenikmatan yang didapat, malah penderitaan tiada tara yang menimpa.

Janji adalah omong kosong yang selalu terpaksa ku makan setiap detiknya. Harapan akan hari esok yang lebih cerah nyatanya terlalu terang benderang sehingga akibatnya malah berbalik membutakan. Kegelapan dan kekaburan adalah teman setia yang setia menemani atau setidaknya terpaksa menjadi teman dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Terlalu gelap dan nestapa nasibku ini sehingga lupa untuk sekedar memperkenalkan diri. Ya, akulah yang sering kalian sebut sebagai si pahlawan tanpa tanda jasa itu! Ironis! Entah sudah berapa ratus, bahkan ribu, bahkan juta manusia yang telah aku meredekakan dari kedunguan, aku bebaskan dari kebodohan, aku jadikan mereka konglomerat, orang sukses, dan pejabat pemerintahan, namun masih saja kau bilang aku ini tanpa tanda jasa!

Bullshit, ungkapan itu hanya membuatku makin tersiksa. Engkau salah jika menganggapku bahagia dengan slogan itu, too good to be true! Birokrat dan masyarakat malah menjadi rendah memandangku, tak ada lagi rasa hormat, tak ada lagi rasa menghargai. Tak ada bedanya lagi diriku ini dimata mereka dengan seorang pegawai pabrik.

Aku dan rekan-rekan sejawatku jelas muak berada dalam posisi tertindas semacam ini. Seringkali aku membayangkan jaminan kehidupan sejahtera dan tentram layaknya pengharagaan setinggi langit yang diberikan negara Finlandia. Kebahagiaan macam itu hanya sebatas angan-angan di kepala. Ya, itu takkan bisa terwujud jika birokrat dan masyarakat masih memiliki pandangan rendah itu pada diriku.

Dulu nasibku lebih mujur dari saat ini, setidaknya walaupun secara finansial penghasilan pun tidak lebih baik, namun secara status sosial aku lebih dihormati. Ya, kehidupanku dulu terjamin berkat kehormatan yang kumiliki, orang-orang tertegun tatkala berpasasan denganku seraya memberikan raut wajah penuh respek.

Bukan maksud untuk ingin kembali ke masa lalu, aku tahu kultur budaya saat itu sudah berbeda dengan saat ini yang serba pragmatis. Atas dasar itu jelas sudah pengasilan dari pekerjaanku ini tidak bisa seperti masa lalu yang mengandalkan rasa hormat dari orang lain. Sekarang tidak bisa! Pola hidup sudah berubah drastis, dan sekali lagi, kalian masih menyebutku pahlawan tanpa tanda jasa yang seolah-olah hanya pantas digaji dengan do'a dan amalan semata. Tidak bisa begitu!

Tanda jasaku padahal jelas banyak, panglima bintang lima sekalipun tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku! Apakah dia akan menjadi panglima tanpa peranku ? Namun mengapa nasibku sebagai penjaga dan pewaris peradaban bangsa begitu terseok-seok, tanpa perhatian, tanpa penghargaan, bahkan tak jarang banyak yang malah lebih memilih mundur dan beralih menjadi pegawai pabrik, pengusaha, atau sekedar menjadi pedagang karena dinilai lebih menjanjikan taraf kehidupan yang lebih baik.

Ada kalanya saat kami berbondong-bondong menuntut kepada penguasa atas kepedihan hidup yang dialami dengan membawa ribuan massa, dengan berbagai atribut propaganda, namun hasilnya tetap saja nihil. Mereka hanya sekedar menjanjikan ini itu tanpa bukti nyata. Hal nyata yang dirasakan hanyalah fakta bahwa perhatian dari penguasa terhadap aku adalah omong kosong.

Intimidasi dan diskriminasi! Itulah kenyataan yang kualami. Ya, kata siapa pekerjaan mulia ini berjalan mulus, tanpa ganguan, hambatan, dan rintangan ? salah besar! Bisa dibilang ini ibarat pertaruhan hidup dan mati, pertaruhan antara intergritas dan profesionalitas melawan kebijakan otoritas. Tekanan kepada kemi begitu mengalir deras tatkala perubahan dilakukan dalam sistem pembelajaran. Mereka tidak menghendaki kami untuk bereksplorasi dan berkreasi bersama para murid!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun