Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Berbeda Maka Aku Celaka

16 April 2019   12:01 Diperbarui: 16 April 2019   12:14 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Geralt

Memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang lain sebetulnya sebuah hal lumrah dan patutnnya disadari bersama sebagai hakikat keunikan manusia. Perbedaan pandangan ini seyogyanya disikapi tanpa tendensi yang berlebih apalagi sikap sinis. Toleransi adalah kunci dalam menjalani kehidupan di alam yang berisi manusia.

Ya, alam yang berisi manusia dalam hal ini adalah alam yang isinya meliputi kumpulan dari beragam entitas multiperspektif dan multidimensi. Memang pada hakikatnya tidak ada manusia yang identik, baik itu secara raga maupun rohani. Disinilah kemudian toleransi dan apresiasi terhadap realitas kehidupan ini diperlukan, tentunya dalam rangka menjaga tatanan sosial yang harmonis.

Namun kita seringkali dihadapkan pada keadaan berbanding terbalik dari ekspektasi tatanan sosial yang harmonis tadi. Tampaknya sejak dulu selalu saja ada orang yang bersikap anti tesis terhadap pandangan seseorang. Dalam gagasan apapun agaknya akan selalu saja ada pihak yang berseberangan pemikirannya. Hal ini tidak akan jadi masalah jika dibarengi dengan rasa toleransi dan apresiasi dalam upaya penyaggahannya dan benturan pemikirannya itu.

Idealnya perdebatan atau penyanggahan gagasan didasari juga oleh rasa toleransi, apalagi jika disertai data--data yang dapat dipertanggungjawabkan. Ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami, amat sulit menemukan orang berpikiran terbuka dan toleran seperti itu. Sungguh langka rasanya menjumpai orang--orang yang memiliki jiwa besar untuk menghargai perbedaan pendapat.

Malah dewasa ini justru banyak berkembang kasus anti toleransi di mana-mana. Mulai dari rezim anti kritik, manusia anti kritik, guru anti kritik, dan golongan manusia anti kritik lainnya. Saya hanya heran saja, di alam merdeka seperti saat ini masih saja banyak orang berwatak kolonial dan preman. Entah mereka belum memahami akan hakikat manusia sebagai entitas yang unik baik secara ragawi maupun ruhani.

Lebih bahaya lagi saat ini adalah banyak terjadi pula kasus persekusi bagi mereka yang berbeda pandangan bahkan seringkali di cap yang tidak-tidak, mulai di cap komunislah, liberallah, kafirlah dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Bahkan lebih ekstrim lagi selain mendapat persekusi, mereka yang berbeda pandangan pun kerap mendapat tindakan represif mulai dari dipukul, ditendang, dan tidak menutup kemungkinan sampai diculik lalu dibunuhnya.

Bukan saya berbicara berlebihan, mungkin kita tahu misteri pembunuhan dan penculikan Wiji Thukul atau Munir ? Di manakah mereka sekarang ? Atas dasar apa mereka diculik lalu dibunuh? Kita tahu dari kasus yang menimpa mereka adalah karena kedua tokoh itu memiliki pandangan yang berbeda dengan rezim penguasa otoriter.

Budaya anti kritik dari dulu sampai sekaranglah yang membuat banyak orang menjadi gelap mata. Bahkan budaya anti kritik ini jugalah yang mendasari tindakan kekejaman bisa begitu saja dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. apalagi jika kombinasi budaya anti kritik itu dibarengi pula dengan watak seseorang yang diktator dan lebih--lebih dia memegang suatu kekuasaan, maka tamatlah sudah riwayat para pemikir.

Selain kasus Wiji Thukul dan Munir, kita juga mungkin tahu kasus pembunuhan Marsinah? Ya, ia merupakan orang yang giat memperjuangkan hak kaum buruh, dan kemudian ia dibunuh secara keji. Akibat yang ditimbulkan dari kasus ini jelas membuat banyak orang yang pada akhirnya lebih memilih tutup mata, mulut dan telinga tatkala melihat ketidakadilan yang jelas-jelas terjadi dipelupuk matanya.

Realitas menjijikan inilah yang membuat bangsa kita tidak akan kian maju. Ketika perbedaan pandangan dianggap suatu hal yang tabu bahkan terlarang. Mungkin bangsa kita merdeka secara ragawi, namun dalam ruhnya saya rasa bangsa kita belum sepenuhnya merdeka. Pahitnya kenyataan ini makin diperburuk juga dengan maraknya aksi anti toleransi, mulai dari pembubaran aksi, diskriminasi ras, bahkan dalam dunia akademik semacam kampus pun tindak pembredelan pengetahuan tidak ketinggalan secara masif terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun