Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan yang Memuliakan

29 Maret 2019   18:49 Diperbarui: 29 Maret 2019   19:36 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Cocoparisienne

Resah tampaknya menjadi kata yang tidak bisa dipisahkan dari kondisi pendidikan kita. Sebagai bangsa yang sudah lama merdeka, kondisi pendidikan dewasa ini malah mencirikan hal yang sebaliknya. Pendidikan masih belum meredeka sepenuhnya. Ada saja permasalahan-permasalahan yang menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia memang masih belum merdeka.

Dibandingkan dengan negara-negara tetangga kondisi pendidikan Indonesia kian saja tertinggal. Malaysia, Singapura, dan Vietnam kini berada pada zona menengah ke atas sebagai sistem pendidikan terbaik. Bahkan Vietnam secara mengejutkan mampu bercokol pada urutan ke-8 dalam rangking PISA 2015, khususnya pada kemampuan literasi sains siswanya. Singapura apalagi, dalam laporan PISA Singapura masih menjadi jawara sebagai pencetak siswa dengan kemampuan literasi di atas rata-rata.

Lalu apa kabar Indonesia? Ya, Indonesia masih betah menempati jajaran 10 besar terendah. Kondisi ini jelas tidak dapat dibiarkan. Di tengah ramainya pembahasan mengenai revolusi industri 4.0 dengan segala kecanggihannya, jika manusia Indonesia belum mempunyai kualifikasi yang mumpuni, apakah bisa Indonesia survive dari hiruk pikuk percaturan global? Jika pun bisa selamat apakah Indonesia akan menjadi bangsa yang memiliki andil besar di dalamnya atau hanya akan berperan sebagai penonton saja?

Tantangan di atas jelas menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, karena pada zaman ini, terlambat memulai satu detik saja akan menyebabkan malapetaka yang mengerikan. Di zaman serba cepat seperti sekarang ini setiap bangsa harus bisa cepat menyesuaikan diri dengan kondisi dunia yang sangat dinamis.

Tentu dalam menciptakan sebuah bangsa yang memiliki sensibility of change harus dimulai dari pola pengembangan sumber daya manusianya terlebih dahulu, dan dalam urusan pengembangan sumber daya manusia, jelas ini tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan. Sampai disini terlihat bahwa ada benang merah keterhubungan antara pendidikan dan kualitas sebuah bangsa. Maka disini pula kita bisa lantas berasumsi bahwa jika kebobrokan suatu bangsa itu salah satunya adalah karena aspek pendidikannya juga bobrok.

Hal yang menjadi fokus kita hari ini adalah mengapa pendidikan masih belum mampu mengangkat eksistensi bangsa di kancah global, menciptakan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa? Alih-alih makin menunjukan taji di mata dunia, malahan makin kesini Indonesia makin terasingkan dari percaturan global.   

Lantas permasalahan apa yang menyebabkan kondisi pendidikan kita seolah mengalami kemunduran ? Dan bukankah fasilitas penunjang pendidikan itu sudah berkembang dan lebih lengkap ? Tentu pertanyaan ini bermunculan dalam benak kita. Memang ironis, ditengah kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan itu tidak serta merta membuat kondisi pendidikan makin berkualitas dan membanggakan. Namun upaya peningkatan kualitas pendidikan memang tidak bisa hanya dinilai dari lengkap atau tidaknya fasilitas yang mendukung.

Hal yang lebih fundamental dari kegamangan sistem pendidikan kita justru bermuara pada disorientasi pendidikan dari yang humanis menjadi pragmatis kapitalis. Tujuan luhur pendidikan kita seperti dikatakan Ki Hadjar Dewantara adalah untuk memanusiakan manusia, dalam arti berakklak mulia, kini tergantikan oleh tujuan untuk menciptakan manusia atau siswa yang siap kerja setelah lulus sekolah.

Ini yang menyebabkan pendidikan menjadi tidak lagi bersifat mendidik tapi hanya sekedar mengajar dan melatih. Ini juga yang menyebabkan orientasi pengembangan siswa lebih berfokus kepada aspek kecerdasan intelektual, dibandingkan dengan kecerdasan moral. Lebih jauh, hal ini pula yang menjadi sebab mengapa orang Indonesia saat ini bagus di akal tapi lemah di moral, atau mungkin saja baik akal maupun moral sama-sama lemah.

Maka tidak heran jika saat ini secara nyata kita melihat bahwa masyarakat menjadi mudah diprovokasi, di adu domba, suka korupsi, dan tidak bertanggung jawab. Disorientasi menjadikan pendidikan kehilangan satu nilai yang fundamental, yaitu pengembangan akhlak berbasis agama dan kebudayaan. Kita tahu bahwa baik agama maupun kebudayaan seolah tidak menjadi barang seksi dalam sistem pendidikan kita, khususnya sekolah formal.

Keduanya ibarat menjadi barang pelengkap saja di dalamnya. Apalagi soal budaya malah ruang lingkupnya dipersempit sebagai kesenian semata. Agama dan kebudayaan memang termaktub sebagai mata pelajaran. Namun secara substansi keduanya tidak menjadi ruh dalam sistem pendidikan kita dan tidak dijiwai oleh para stakeholder pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun