Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahaya Narsisme dan Mudahnya Kita Menjatuhkan Vonis

2 Februari 2019   17:47 Diperbarui: 2 Februari 2019   17:59 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Johnhain

Mencari ketenangan hidup di era seperti sekarang ini tampak menjadi hal yang sukar untuk dinikmati. Setiap detik selalu saja lalu lalang beragam kabar yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Informasi tersebut dengan mudahnya dapat kita peroleh dari televisi dan internet.

Apalagi di tahun politik yang terlihat mencekam seperti sekarang ini, kedua pihak yang berseberangan pilihan politik kerap melancarkan adu serangan yang tak jarang membuat gaduh dan menciptakan keretakan pada masyarakat. Hingga yang terjadi adalah terbentuknya mindset penuh tuduhan, kecurigaan disertai amarah dalam pola pikir masyarakat.

Jika mayoritas masyarakat sudah bersikap begitu jelas kehidupan yang tentram menjadi utopia semata. Faktanya sekarang memang begitu, pihak A menuduh B begini, Pihak B menuduh A begini, belum lagi ditambah kedua belah pihak menggalang opini publik untuk sebisa mungkin berada di pihak mereka. Dari situ terciptalah kebencian dan lebih bahaya menjurus kepada sikap narsisme.

Dalam hal apapun sikap narsisme tidak bisa dibenarkan. Melakukan perbuatan yang berlebihan walaupun dalam hal baik tentu tidak bisa dibenarkan pula. Makan itu baik, tapi jika kita terlalu banyak makan bukankah akan berdampak buruk juga terhadap kondisi tubuh?

Dalam pilihan politik pun demikian, jika terlalu mendewakan calon kita dan menganggap calon pilihan orang lain buruk bahkan dengan merendahkan harkat marbatnya jelas ini bentuk narsisme yang sesungguhnya.

Virus narsisme secara nyata kini telah banyak menjangkit masyarakat. Terlalu berlebihan mencintai suatu hal hingga menganggap diri sebagai dewa yang maha benar. Akibat dari merebaknya fenomena ini adalah lesunya nuansa dialogis dalam pola pikir dan pola kehidupan masyarakat. Ketimbang berdialog dan diskusi, saling vonis dan menghakimi justru menjadi pilihan banyak orang.

Dasar itu jelas muncul akibat sikap narsisme. Begitu mudah saat ini kita memvonis seseorang begini dan begitu. Jangankan diungkapkan secara verbal, bahkan terkadang sejak dalam pikiran pun kita mungkin sudah sering memvonis seseorang. Pramoedya tentu akan mengatakan sikap ini sebagai bentuk ketidakadilan dalam berpikir.

Baru - baru ini saja kita digemparkan oleh pemberitaan pembredelan buku yang dilakukan oleh oknum aparat. Kejadian itu secara jelas menandakan bahwa sikap narsisme masih ada.

Beberapa buku yang memiliki nuansa berbau PKI dengan begitu saja diamankan tanpa alasan yang jelas dan seolah - olah menuduh mereka yang membaca buku tersebut nantinya akan menjadi simpatisan atau bahkan membangkitkan partai yang sudah punah itu kembali.

Peristiwa ini didengar dan dibaca masyarakat tentu saja, dan bahayanya masyarakat bisa saja terpapar kekeliruan berpikir seperti oknum aparat tadi. Maka saya tidak akan heran jika nanti seseorang yang membaca atau sekedar punya buku Islam Sontoloyo karya Soekarno akan langsung di cap antek antek komunis.

Lebih jauh, bisa saja nantinya ini melebar pada hal selain isu PKI. Misalnya membaca buku berbau HTI dituduh radikal, baca buku berbau Amerika dituduh liberal, Baca filsafat divonis ateis, dan berbagai vonis keji lainnya.

Padahal sebelum memvonis sesuatu, apalagi berkaitan dengan cara pandang seseorang, perlulah dilandasi oleh suatu kajian mendalam dan disertai pikiran yang jernih. Dialog menjadi penting dalam menengahi fenomena vonis memvonis macam ini, karena dengan begitu proses klarifikasi, analisis dan sampai kepada tahap keputusan bisa dikatakan lebih valid daripada hanya sekedar asal menuduh. Dan tentu saja dialog akan meminimalisir sikap narsisme dengan kemudian akan mengoyaknya hingga sirna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun