Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memburu Tanya, Memburu Hidup

30 Januari 2019   07:00 Diperbarui: 30 Januari 2019   07:03 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com/Simedblack

Melayap, hinggap dari satu tempat ke tempat lain sudah biasa kulakukan. Menjadi gelandangan tanpa punya tempat untuk pulang. Tanpa kehangatan, tanpa perlindungan. Asa hidup aman dan nyaman hanya menjadi angan yang sulit diraih dalam genggaman. Fakta sebagai sampah masyarakat adalah seutuhnya kebenaran. Tidak diharapkan.

Menerima nasib menjadi gelandangan adalah hiburan yang setidaknya lebih menenangkan. Daripada tersiksa, menuntut untuk begini begitu, menggugat takdir mengapa keji seperti ini malah membuat runyam. Pusing. Menerima dan menjalani kenyataan lebih baik dilakukan oleh orang sepertiku. Diabaikan, terlupakan.

Memang ada suatu kala dimana gugatan itu tanpa kenal henti diungkapkan dengan gamblang. Bercampur emosi, diiringi sendu. Mencerca sang pencipta atas kuasanya, memburu tanya atas ketentuanya. Kalimat tanya menjadi teman akrab dengan keseharian, dalam segala aktifitas. Tatkala berjalan, dikala makan, terlelap, hingga kala diam pun, pikiran masih saja belingsutan dihiasi beragam pertanyaan.

Jalan hidup menjadi rute penuh pertanyaan yang berharap menemukan jawaban. Sulit mencarinya, jawaban itu tidak ada di emperan toko, tidak ada sepanjang jalan raya yang kulalui, tidak ada di segala tempat. Frustasi, entah kemana lagi harus mencarinya, kepada siapa lagi harus bertanya, semuanya tampak berlari menghindariku, menjauh.

Kegagalan itu mengantarkan pada fase hidup yang kelam. Keceriaan, kegembiraan seolah tercerabut dari nyawa. Tenang dan nyaman jelas sudah lama tak lagi menghampiri. Segalanya bertransformasi. Habis tenaga ku mencari tanya itu. Lelah. Badan, pikiran, perasaan, sudah tak kuasa lagi menanggung beban mental luar biasa ini.

Di tengah perjalanan, aku diam, bermunajat dengan pasti, apakah perburuan ini harus berlanjut atau disudahi saja. Lewat ketenangan batin, aku mencoba menyamankan posisi duduk, memejamkan mata, menarik napas dalam - dalam, dan diam. Menunggu gagasan pertama muncul, dan memilih itu sebagai jalan yang harus kupilih.

Lambat laun, kegelapan datang mengerubungi. Lima jam, suara - suara mulai samar terdengar, kendaraan, nyanyian, dan berbagai macam suara hewan pun ikut lenyap. Dua puluh jam, dingin dan panas yang sejak awal begitu mengganggu perlahan tidak terasa. Entahlah, baik mata, telinga, hidung, bahkan kulit seolah kehilangan daya pekanya. Aku marasa kulitku mulai seperti perpaduan badak dengan beruang. Tebal dan hangat.

Empat puluh jam, masih dengan kondisi yang sama, namun kali ini rambut sepertinya bejatuhan, layaknya pohon maple pada musim gugur atau pohon sakura menjelang musim dingin. Helaian rambut yang berjatuhan memang tak terasa oleh kulit yang jelas sudah mati rasa, insting yang mengatakannya padaku. Tak rasional.

Empat puluh tiga jam, irasionalitas itu makin bertambah, hidungku serasa lebih sensitif terhadap segala jenis aroma dan bau, pria di ujung jembatan itu sampai terendus bau kaos kaki yang tampak tiga abad belum dicuci. Dan, astaga, mengapa aku bisa melihat pria itu ? Bukankah saat ini, detik ini aku masih diam dan menutup bola mataku ?

Menyadari hal itu, sontak tubuhku bereaksi, bergetar saking kagetnya, tidak percaya. Beberapa menit masih saja getaran tubuh masih berlanjut, hingga cukup lama tubuhku akhirnya ambruk. Posisi duduk kini berganti menjadi terkapar. Tidak terbanting keras, tapi cukup untuk membuat kesadaranku mulai tumbuh. Mula - mula mataku sedikit mencoba membelalak walau berat. Tanganku meraba sekujur tubuh, menggerayap barangkali ada yang hilang.

Setelah cukup sadar dan kuat untuk menopang diri, begitu saja pipi menjadi seperti aliran sungai, semacam ada air yang mengalir diatasnya, cukup deras, sampai membuat lemas kembali tubuh ini. Badan ku angkat dan mencoba bersimpuh diatas lutut, tangan sengaja menutup wajah dan mata, menahan derai air mata yang terus mengalir. Apa artinya ini ? Mengapa aku menangis ? Mungkinkah ini tanda perburuanku tidak boleh berakhir ? Ataukah ini tanda perpisahan dengan perburuanku ?

Memburu tanya, walaupun banyak pedihnya, nyatanya membuatku selalu hidup. Selalu berusaha. Membiarkan jawaban itu sebagai misteri adalah cara untukku agar tetap hidup. Berhenti memburu itu baru akhir jalan, akhir hidup. Tampaknya bagiku sekarang berhenti dan menyerah itu sia - sia. Itu berarti mati. Dan itu bukan kematian yang terhormat. Bukan seleraku. Perburuan, itulah hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun