Mohon tunggu...
Rahma Nugrahaini
Rahma Nugrahaini Mohon Tunggu... -

loves both Indonesian and English, and likes to write!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makan Tak Makan Asal Kumpul

24 Mei 2014   14:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Namaku Rahma. Aku asli lahir di Jepara, orangtuaku pun murni Jawa. Menjadi orang Jawa memang unik dan menarik, dan aku menikmatinya. Kesantunan, keramahan, dan tepo sliro alias tenggang rasa orang- orangnya sudah bukan rahasia umum lagi. Kenal atau tidak kenal, kebanyakan kami akan tersenyum bila berpapasan. Apalagi jika yang ditemui orang yang lebih tua, maka tak jarang kami menundukkan kepala tanda hormat kami. Apabila bertamu pun, ada adab- adab tak tertulisnya. Yang meskipun tak memiliki kontrak yang mengikat, namun sebagian kami begitu mematuhinya. Di antaranya seperti pantang menghabiskan makanan atau hidangan yang disajikan sang tuan rumah sampai tandas. Misal si tuan rumah menyajikan 5 pisang goreng, maka alangkah lebih pantes jika kami hanya mengambil sampai 2 atau 3 biji saja. Pun saat berpamitan dari bertamu, kami akan berulang kali mengucapkan berbagai salam perpisahan. Mulai dari nggih ngeten mawon, badhe pareng rumiyin (Ya begitu saja, mau pamit dulu—red), lalu Assalamualaikum... dan saat sudah di ujung pagar pun masih menyampaikan kata pareng (pamit—red) sekali lagi sembari menundukkan kepala dan tersenyum riang. Masih baaanyak lagi “kontrak tak tertulis” dari tradisi kami. Mulai dari perihal makan, duduk, berbicara, tidur, dsb. Tentu saja kami bangga atas semua itu. Yang meskipun tak ada pembuktian ilmiahnya, namun kebanyakan dari mereka benar adanya.

Namun ada hal lain yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Lepas dari kebiasaan baiknya, ada beberapa hal yang aku sebagai orang Jawa pun masih belum bisa memahaminya. Di antaranya adalah kebiasaan orang tua kami yang sering berkata pada anaknya, Nduk/ nang, sudah... Ndak usah mimpi keduwuren (Anakku, sudah... Tak usah mimpi terlalu tinggi—red). Atau yang lainnya, semisal prinsip makan tak makan asal kumpul.

Seorang sahabat baikku bercerita beberapa waktu lalu. Dia dan aku sama, kami sama- sama mahasiswa pendidikan. Hanya aku dari universitas swasta, dan dia negri. Saat ini, jumlah guru memang sudah melampaui batas. Sungguh tak sebanding dengan ketersediaan pekerjaan yang ada. Dan sahabatku itu, sungguh beruntung mendapat tawaran mengajar dari sebuah SMA swasta terkemuka di Semarang. Tetapi syarat yang harus ditempuh adalah dia harus bersedia mengikuti training di Jakarta, lalu dikirim ke Turki untuk belajar bahasa dan budayanya (SMA tersebut memang menjalin kerja sama dengan Turki), kemudian ke Bosnia atau Rusia untuk hal serupa, untuk akhirnya kembali mengajar di SMA tersebut. Sungguh sebuah kesempatan emas, yang belum tentu bisa dua kali datang menghampiri. Namun yang terjadi kemudian adalah ibunya tak merestui, tak memberi izin. Hanya karena alasan sederhana; tradisi keluarganya adalah makan tak makan asal kumpul. Uang, atau peendapatan, adalah perihal nomor sekian. Yang nomor pertama itu tadi.

Aku yang tak memiliki kesempatan itu saja sangat sesak ikut merasakan. Namun dia berkata bijak, sebuah statement klasik, bahwa ridho gusti Allah ada pada ridho orangtuanya. Sedih memang, tapi apa mau dikata.

Itulah hal yang sampai saat ini aku khawatirkan. Termasuk ibuku pun sebenarnya demikian. Tapi aku masih bisa (baca:berusaha) mafhum dan toleran, karena ayahku memang sudah tak ada. Dan ibu sudah tak muda lagi. Maka beliau butuh betul seorang anak untuk menemaninya di rumah. Namun untuk kasus sahabatku tadi, yang mungkin pula dirasa oleh kalian- kalian juga di sana, aku begitu miris merasakannya. Entah karena tradisi orang Jawa atas makan tak makan asal kumpul sudah mendarah daging dan mengakar kuat, atau entah karena apa tak ada yang tahu pasti. Aku ngeri saja membayangkan jika hal- hal seperti itu terus berantai- rantai turun- temurun sampai hari kiamat kelak. Maka bukan tak mungkin, populasi orang Jawa di negeri antah berantah akan tetap atau semakin menciut.

Bahwa dunia ini begitu luas, bahwa semakin kita menjelajah dan tau keluasannya maka semakin terasa kecillah kita. Bahwa ada begitu banyak ilmu yang tak akan kita dapat dengan berdiam diri di rumah, di kota kelahiran. Namun juga bahwa ridho Tuhan ada pada ridho orangtua, bahwa surga ada di telapak kaki ibu, dan bahwa keutamaan ibu tiga kali lipat lebih tinggi dari ayah.

Aku tak akan menutup tulisan ini dengan kesimpulanku, yang bahkan aku sendiri pun tak yakin akan menyimpulkan bagaimana. Kututup saja dengan dua buah bait, cukilan dari sang Imam besar Syafii, dan sebuah pepatah melayu lama yang kuambil dari novel kenamaan Andrea Hirata, Padang Bulang.

“Orang berilmu dan beradab tak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti saudara dan kawan. Berlelah- lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang.”

(Imam Syafi’i)

“Nasihat ibu bak suara tuhan. Nasihat ibu, sering meragukan awalnya, apa adanya, tak ilmiah, tak keren, tak penting, namun di ujung sana nanti, pendapat yang hakikat itu pastilah nasihat ibu.”

(Padang Bulan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun