Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Pasar Tradisional Kita Manusia, di Pasar Modern Kita Angka

8 Januari 2017   20:23 Diperbarui: 9 Januari 2017   23:18 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pasar tradisional masih sulit lepas dari citra kumuh, sumpek, apek. Walaupun di beberapa kota besar sudah punya punya pasar tradisional yang didandani secara modern, tapi di kota-kota kecil bahkan sampai ke kampung-kampung, pasar tradisional masih tetap 'tradisional'.

Harus diakui, pasar modern menawarkan banyak hal yang membuat orang senang berkunjung ke sana ketimbang pasar tradisional. Suasana yang nyaman, barang-barang yang lengkap dan tertata rapi membuat pembeli betah berbelanja.

Tapi kenapa pasar tradisional masih tetap eksis? Apa yang membuat masyarakat Indonesia masih senang berbelanja di pasar nan rempong tersebut?

Saya menemukan jawabannya saat hadir dalam Festival Pasar Rakyat yang digagas Yayasan Danamon Peduli dan Kompasiana di Bentara Budaya Jakarta akhir Desember lalu.

Kebetulan Garin Nugroho turut hadir dan didapuk memberikan sepatah kata. Sutradara kondang ini  mengatakan, hal yang tak bisa dibeli di pasar modern dan hanya ada di pasar tradisional adalah interaksi. Ya, interaksi antara penjual dan pembeli.

Di pasar modern nan nyaman tak akan ada tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Tak ada tarik ulur harga. Tak ada percakapan.

Tak mungkin rak susun di swalayan modern seketika menjulurkan tangan dan menepuk pundak calon pembeli sambil berkata," Eh, yang kemarin belanja ya? Mau beli apa lagi? Mari sini,". Tak mungkin. Itu hanya akan terjadi di pasar tradisional.

"Dengan kata lain, hanya di pasar tradisional kita menjadi manusia," kata Garin.

Garin bisa menarik kesimpulan itu bukan tanpa dasar. Dia sudah berkunjung ke banyak pasar tradisional di berbagai pelosok nusantara. Mulai dari pasar tradisional di Papua sampai pasar terapung di Banjarmasin. Semua punya satu benang merah yaitu interaksi sosial yang intens.

Ucapan Direktur Bank Danamon Michellina Triwardhany mungkin bisa jadi penegas teori Garin. Dhany mengatakan, sudah saatnya kita kembali ke pasar tradisional karena hanya di pasar inilah kita dikenal. Hanya di pasar rakyat seperti ini kita bisa disapa oleh penjual.

"Di pasar modern kita hanya sebuah angka," ujarnya filosofis.

Ya, sebuah angka. Tak lebih. Kita bukanlah 'manusia'-sebagaimana maksud Garin-saat berbelanja di pasar modern. Pemilik swalayan hanya peduli dengan uang di dompet kita. Tapi di pasar tradisional tidak.

Di pasar rakyat ini kita bisa ngobrol banyak dengan pedagang. Berdiskusi tentang harga cabai yang kian melambung, atau harga beras yang sudah turun. Kadangkala si penjual malah curhat dan kita menjadi pendengar yang baik.

Tapi dengan segala kelebihannya, bukan berarti pasar tradisional tetap dibiarkan kumuh. Ada banyak contoh pasar tradisional yang dipoles secara modern, seperti Pasar Tanggul di Solo atau Beringharjo di Yogyakarta.

Atas dasar itu pula lah ide Hari Pasar Rakyat Nasional menjadi sebuah ide yang kece. Momentum seperti ini penting, lebih-lebih di era milenial seperti sekarang. Mungkin saja anak-anak muda yang lahir di era ini tak lagi tertarik berbelanja di pasar tradisional karena kesan kumuhnya.

Padahal seperti yang sudah dibahas di atas, pasar bisa menjadi semacam laboratorium sosial bagi generasi muda. Jadi tempat berinteraksi dan belajar merakyat.

Saya membayangkan, di hari bersejarah tersebut kita berbondong-bondong menyerbu pasar tradisional. Bersama keluarga atau teman-teman pergaulan sembari ber-selfie ria bak berkunjung ke lokasi wisata.

Lalu sebagai tindak lanjutnya, kita bisa membentuk komunitas pasar rakyat dengan hobi yang sama: berbelanja di pasar tradisional. Mungkin nantinya bakal berkembang di dunia maya dengan membentuk forum pasar rakyat dimana kita bisa saling bertukar foto dan cerita.

Dan kalau ingin lebih berkontribusi kepada negara, komunitas tersebut bisa menjadi salah satu rujukan harga-harga. Komunitas pasar Banda Aceh bisa saling bertukar informasi harga dengan komunitas pasar Jayapura. Pun begitu dengan daerah-daerah lain. Mungkin saja langkah sederhana ini berguna untuk mengendalikan inflasi. Bisa saja kan?

Nah, kalau sudah begitu maka keberadaan pasar tradisional bisa bernilai lebih. Karena sekali lagi, di pasar tradisional kita adalah manusia dan bukan sebatas angka semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun