Mohon tunggu...
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa Mohon Tunggu... Freelancer - Writer, Psychologist

Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan psikolog pendidikan lulusan Universitas Gadjah Mada. Menulis tentang psikologi, tumbuh kembang, keluarga, perkembangan moral, pendidikan, sosial, dan refleksi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rapuhnya Kepedulian Manusia: Melihat yang Ingin Dilihat

15 Mei 2019   22:24 Diperbarui: 15 Mei 2019   22:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perintah berpuasa di bulan Ramadhan identik dengan anjuran meningkatkan empati dan kepedulian terhadap kalangan yang memiliki tingkat ekonomi di bawah rata-rata. Orang yang berpuasa pada dasarnya dilatih untuk menahan rasa lapar yang seringkali harus dialami kalangan dengan tingkat ekonomi di bawah rata-rata tersebut, sehingga perasaan berjarak antara si kaya dan si miskin tidak lagi terasa pada titik tertentu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah manusia cenderung setidakpeduli itu dengan keadaan orang lain, hingga harus ada momentum khusus untuk mengingatkan manusia agar mampu berempati kepada orang lain?

Manusia cenderung melihat yang ingin dilihat

Riuh keramaian sepanjang jalan Malioboro begitu memanjakan jiwa-jiwa yang penat dengan pikuk dunia. Berbagai jenis pakaian dan pernak-pernik juga memanjakan dahaga pasang mata yang ingin bergelimang benda. Gelak tawa dapat terdengar memenuhi jalanan dari nol kilometer hingga nol plus plus kilometer selanjutnya. Sesak kendaraan sedang beradu untuk mencari celah di tengah padatnya arus lalu lintas di sana. Cengir kuda juga tidak kalah keren dengan jenis kuda besi untuk dapat menyambut heboh pejalan kaki yang sedang membanjiri trotoar.

Semua orang tahu bahwa Malioboro selalu seramai itu.

Ramai dengan tawa.

Ramai dengan sesuatu yang tampak seperti kebahagiaan.

Banyak orang mencari pengharapan hiburan malam di daerah bersejarah sekitar Tugu Yogyakarta tersebut. Cukuplah kerlap-kerlap lampu cerah menghapuskan wajah-wajah gelisah akibat isi kehidupan selama sehari itu. Banyak pula pengadu nasib yang berjejalan menjajakan berbagai macam hal, mulai dari penjajal perut dari rasa lapar, hingga jenis makanan yang sekali dimakan akan semakin menimbulkan hasrat untuk memakan lebih banyak lagi. Keramaian itu telah membuat banyak orang menanamkan harapannya pada jalanan Malioboro itu agar menemukan kebahagiaan padanya.

Semakin kuat harapan itu, semakin buta orang itu.

Hingga orang itu tak lagi mengenali bahwa terdapat kisah-kisah pilu di balik kemewahan Malioboro. Orang-orang tidak tahu tentang adanya cerita kekerasan dalam rumah tangga yang harus dihadapi para pengadu nasib yang bertebaran di sana. Atau tentang nasib-nasib pergaulan bebas yang mengakibatkan adanya kasus married by accident pada remaja. Atau mengenai tawaran-tawaran perselingkuhan yang dapat dimanfaatkan di balik gemerlap nyala lampu-lampu itu. Atau kisah mengenai perjuangan dalam memperoleh keping-keping rupiah untuk sekadar mendapatkan sejumput beras. Atau tentang pengorbanan yang mesti dilakukan untuk meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Atau adanya permainan-permainan kotor yang memanfaatkan posisi masyarakat untuk tujuan tertentu.

Tahukah kau? Pedulikah kau?

Banyak orang tidak mengetahui itu.
Karena mereka cenderung melihat yang ingin manusia lihat, bukan yang seharusnya mereka lihat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun