Tak disangka, ternyata pria itu terlampau terlena atas kehidupannya. Lembaran kertas 'jimat sakti' ia kumpulkan. Barangkali, kedudukannya dalam masyarakat akan mampu meningkat dengan adanya jimat tersebut, karena benda tersebut telah diaminkan oleh seluruh tatanan masyarakat sebagai satu-satunya alat tukar yang resmi.Â
Atau barangkali pula, tumpukan aset duniawi itu dapat menjadi perangkat ideologisnya untuk menemani jasadnya ketika berpulang nanti. Atau justru bisa jadi, gelimang harta tersebut adalah harga diri terakhirnya di masa ini.
Manusia memiliki dua buah mata. Sangat disayangkan bila kedua perangkat badan tersebut tidak digunakan untuk melihat cakrawala dunia. Tentunya ada ruang indah di langit sana, dengan sinar mentari atau pun rembulan yang berpendar. Atau juga ikan-ikan yang berkelok eksotis sedang menggelayuti hamparan samudera di bawahnya.Â
Pun dengan para penduduk di pantai sebelah yang sedang menuai segala bentuk kebaikhatian dari alam. Manusia dapat menyaksikan semua itu, tentu karena peran besar mata.
Sejak awal diciptakan, barangkali memang benar bahwa mata hanya menjalankan tugasnya sebagai penghubung visual antara objek realitas dengan pengetahuan manusia, pun makhluk lain.Â
Dan memang tak dapat dipungkiri, bagi manusia yang pada awalnya awam atas bermacam properti keindahan di sekitarnya, bahwa objek-objek realitas tersebut begitu mempesona jiwa-jiwa yang selalu ingin mengetahui. Keinginan untuk terus bereksplorasi itu telah ada dan bersedia menjadi perbekalan manusia dalam menjelajahi kehidupan ini.Â
Sehingga, coba lihat saja, begitu banyak hasil percobaan dan pemikiran manusia yang telah menggemparkan masyarakat, melalui berbagai macam terobosan dalam bidang pengetahuan yang barangkali sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Maka kemampuan melihat dan mengamati itu memang memberikan peran nyata tersendiri dalam proses 'pengamatan' pengetahuan tersebut.
Sayangnya, eksotisme keberadaan objek-objek dalam kehidupan ini juga begitu menarik hati dan menggugah rasa kepemilikan pada manusia. Sehingga, objek yang mestinya cukup sebagai bahan pengamatan, nyatanya berakhir dalam bentuk kepemilikan perorangan, atau pun kelompok. Sekat pembatas antara objek dan subjek semakin samar.Â
Bagaimana pun caranya, objek tersebut 'perlu' untuk menjadi satu kesatuan dengan subjek tertentu. Kemudian subjek tersebut lupa untuk mengerem hasrat kepemilikannya yang menggebu tersebut. Barangkali, tak jauh berbeda dengan seorang maling yang tergiur mengambil berbagai perhiasan yang bukan merupakan kepemilikannya.
Sepertinya, manusia telah banyak mencuri bagian dari dunia. Hingga manusia tak lagi sadar bahwa sebenarnya ia sedang memainkan lakon seorang pencuri.