Mohon tunggu...
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Rahma Ayuningtyas Fachrunisa Mohon Tunggu... Freelancer - Writer, Psychologist

Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta dan psikolog pendidikan lulusan Universitas Gadjah Mada. Menulis tentang psikologi, tumbuh kembang, keluarga, perkembangan moral, pendidikan, sosial, dan refleksi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah terdapat Konektivitas Jiwa Manusia?

23 April 2019   15:25 Diperbarui: 23 April 2019   15:46 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dahulu, saya tidak benar-benar memercayai bahwa ada hal-hal semacam konektivitas jiwa seseorang dengan orang lain. Mengapa saya harus memercayai hal-hal semacam itu? Bagi saya, hal-hal semacam itu terlalu melankolis dan dipenuhi dengan bumbu-bumbu imajinatif saja dalam menjelaskan interaksi antarmanusia. Saya tidak mengerti mengapa seseorang membutuhkan orang lain, selain dengan adanya alasan-alasan resiprokal di baliknya.

Orang-orang di luar sana berkata bahwa seorang manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, namun bukan berarti memiliki segalanya alias tidak memiliki kekurangan. Ketidaksempurnaan manusia tersebut kemudian menjadi latar belakang di balik interaksi antarmanusia. Orang-orang itu pula juga menyebutkan bahwa kelebihan seseorang akan mampu melengkapi kekurangan orang lain.

Pada poin ketidaksempurnaan di atas, ya, saya tidak dapat memungkirinya. Saya tidak sempurna, pun dengannya maupun mereka. Meskipun begitu, saya masih belum mampu memahami mengapa seseorang harus saling melengkapi satu sama lain? Apakah, dengan begitu, mereka mampu mencapai suatu standar kesempurnaan tertentu? Ataukah hanya untuk meraih kualitas tertentu yang lebih tinggi saja?

Setiap orang pasti memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Begitu pula dengan adanya kekurangan tertentu dalam diri setiap manusia. Namun di balik semua itu, sebenarnya hal apakah yang menjadi standar kenormalan seseorang, sehingga memunculkan kondisi kelebihan dan kekurangan pada manusia? Apakah para manusia menggunakan ukuran kondisi kebanyakan masyarakat sebagai standar normalitas mereka? 

Jika demikian, maka ukuran normalitas seseorang akan bergantung pada kualitas masyarakat tersebut. Misal, apabila seseorang yang memiliki kesadaran literasi tinggi berada dalam suatu masyarakat yang memiliki standar literasi rendah, sudah jelas bahwa seseorang tersebut dapat menyebut kegemarannya terhadap literasi sebagai suatu kelebihan dirinya. Lantas apabila orang tersebut berpindah tempat dengan memasuki suatu masyarakat yang memiliki standar literasi tinggi, barangkali seseorang tersebut tidak lagi dapat mendeklarasikan kemampuannya tersebut sebagai suatu kelebihan di antara orang lain.

Seseorang perlu mengetahui ukuran normalitas pada manusia. Dengan begitu, ia dapat mengerti hal-hal yang menjadi kelebihan serta kekurangan dirinya. Kemudian, apabila hal-hal semacam 'saling melengkapi' memang ada, maka hukum tersebut dapat berlaku dalam kondisi tersebut. Setidaknya, manusia akan memiliki tolok ukur tertentu dalam proses saling melengkapi menuju suatu keadaan yang lebih sempurna tersebut.

Dan pada titik inilah, saya mulai memahami adanya konektivitas antarjiwa manusia. Jikalau kau sedang mempermasalahkan atribut-atribut manusia tertentu sebagai suatu kelebihan maupun kekurangan, tentu saja pembahasan itu akan selalu ada karena atribut-atribut tersebut tidak memiliki satu tolok ukur normalitas tertentu. Barangkali, yang sebenarnya sedang kau perbincangkan adalah mengenai kondisi jiwamu. Oh tidak, saya tidak sedang membicarakan jiwa dalam wacana semacam gangguan jiwa, melainkan saya sedang membicarakan sesuatu dalam dirimu yang membuatmu disebut sebagai dirimu. Kau mengetahui bahwa kondisi jiwamu tidak berada pada kondisi paling sempurna, sehingga kau berupaya untuk, setidaknya, memastikan agar kondisi jiwamu tidak semakin buruk setiap harinya. Salah satu upaya yang kau lakukan kemudian adalah dengan mencari bantuan dari orang lain.

Barangkali, kau tidak menyadari, bahwa keadaan mencari 'bantuan' dari orang lain tersebut telah menjadi kebutuhan tersendiri bagimu. Kebutuhan itu telah ada padamu sejak awal kehidupanmu, sehingga menjadi salah satu opsi paling alamiah bagimu untuk mengatasi keadaan jiwamu. Kau merasa senang untuk dipahami, didukung dalam usaha-usaha memperbaiki diri, maupun sesederhana dihargai keberadaanmu. Bentuk-bentuk tersebut dapat membantumu mengenali keadaan jiwamu maupun membawa jiwamu dalam keadaan yang lebih sempurna.

Hingga pada kondisi ini, konektivitas antarjiwa manusia akan terbangun. Adanya kebutuhan jiwa manusia atas jiwa lain akan membantu dalam mengenali keadaan jiwa pada diri orang lain. Jiwa seseorang dapat menilai kondisi jiwa di hadapannya, yakni apakah jiwa tersebut dapat membantunya untuk menghantarkannya menuju keadaan jiwa yang lebih sempurna. Begitu pula dengan perannya dalam membantu jiwa lain tersebut menuju keadaan yang lebih baik. Masing-masing jiwa tersebut akan menemukan suatu frekuensi tertentu dalam proses saling membantu tersebut, layaknya kepingan puzzle yang menemukan bagian kepingan lainnya.

Dan jika memang demikian adanya, maka saya mulai dapat memahami latar belakang lebih mendalam di balik adanya kebutuhan manusia atas orang lain tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun