Mohon tunggu...
rahmad bakti santosa
rahmad bakti santosa Mohon Tunggu... pns -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hitam Putih di Balik Tambang Timah Bangka

6 September 2016   12:18 Diperbarui: 6 September 2016   14:24 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai juga saya di Pulau Bangka. Sambil tengok sana, tengok sini, saya mencoba mencari kawan saya yang tinggal di Bangka. Namanya juga belum pernah ketemu sama orangnya, agak susah juga mencarinya. Untungnya saya bisa dengan mudah mengenali teman saya hanya dengan melihat baju yang dikenakannya. “mas, sini…!”, begitu teman saya memanggil. Waktu itu saya dijemput sama dua orang kawan yang baru pertama saya jumpa. Mereka berdua baik.

Perjalanan dimulai. Saya meminta kepada kawan saya yang tinggal di Bangka tadi untuk menemani saya melihat-lihat kondisi perairan. Kenapa? Karena informasi yang saya peroleh menyebutkan bahwa kegiatan pengerukan pasir timah di Bangka sudah sedemikian mengkhawatirkan. Bayangkan saja, terdapat ratusan bahkan kalau pakai bahasa alay mungkin mencapai ribuan, kapal isap plus ponton-ponton yang beroperasi di Perairan Pulau Bangka. Kalau saya tidak salah, pada mulanya kegiatan eksploitasi pasir timah dilakukan di daratan pulau Bangka. Setelah sekian tahun berlalu, lama kelamaan cadangan timah yang ada di daratan mulai menipis bahkan mungkin habis. Sebagai bukti bahwa pernah terjadi kegiatan eksploitasi timah secara massif dapat anda saksikan dengan mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah dijadikan lahan tambang timah. Banyak sekali lubang-lubang bekas galian tambang yang sampai saat ini pun tidak dilakukan tindakan rehabilitasi lahan sebagaimana diwajibkan oleh peraturan. Kalau ingin melihat lebih mantap lagi, bisa dengan cara melihat dari udara seperti yang telah saya ceritakan di awal tadi.

Sekira pukul 08.00 WIB kami berangkat dari Pangkal Pinang menuju Sungai Liat dengan waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan. Setiba di Sungai Liat kamipun menyewa sebuah kapal motor milik salah seorang nelayan untuk waktu yang lumayan lama. Tawar menawar harga pun terjadi dalam waktu yang singkat. Bremmm……kapal pun berangkat.

Deru kapal motor mengantarkan kami secara perlahan menyusuri perairan Sungailiat. Untung saja keadaan ombak saat itu masih tergolong bersahabat, jadi kami pun tidak merasa was-was karena kebetulan tidak ada pelampung di dalam kapal. Ketika kapal melaju keluar dari area kolam pelabuhan, banyak sekali kapal-kapal yang terparkir rapi di pinggir alur. Hanya saja kapal-kapal tersebut agak berbeda dengan kapal-kapal nelayan pada umumnya. Kapal tersebut telah dilakukan modifikasi menjadi sebuah kapal isap timah. Kapal dilengkapi dengan mesin sedot dan penyaring pasir timah. Selain kapal yang telah dimodifikasi, juga terdapat ponton-ponton yang juga digunakan untuk melakukan penambangan pasir timah secara illegal. Kok illegal? 

Ya, itu karena aktifitas tersebut dilakukan tanpa izin resmi dari pemerintah daerah setempat. Kapal modifikasi tersebut pada umumnya disebut sebagai TI Apung (tambang inkonvensional apung). Jangan dibayangkan jumlah TI Apung tersebut jumlahnya hanya puluhan. Berdasarkan informasi di lapangan, jumlah TI Apung di Pulau Bangka mencapai lebih kurang 1.200 unit. Fantastis. Bisa dibayangkan bagaimana dampak dari kegiatan tersebut terhadap kondisi laut. Belum lagi Kapal Isap Produski yang resmi beroperasi yang jumlahnya mencapai ratusan. Menurut informasi yang kami dapatkan, beberapa waktu yang lalu dilakukan razia oleh aparat kepolisian untuk menertibkan TI Apung yang beraktifitas secara illegal. Sehingga para pelaku memilih untuk libur sejenak.

Mendekati muara, terpapar hamparan luas laut yang terasa menyejukkan hati. Biasanya yang dilihat kemacetan lalu lintas Jakarta, namun kali ini suasana rileks yang saya rasakan. Kata orang, kalau kamu lagi stress atau suntuk, maka pergilah kamu ke laut, maka hatimu akan tenang. Sebentar saja hati ini merasakan ketenangan, tidak lama kemudian rasa tenang itu perlahan mulai pudar. Kenapa? Ternyata di depan sana banyak sekali kapal-kapal isap yang tengah beraktifitas melakukan penambangan pasir timah. Mungkin sekitar 13 unit kapal isap. Kami pun mengarahkan sang nakhoda untuk berputar-putar sambil melihat-lihat aneka ragam kapal isap yang hampir semuanya merupakan kapal dari Thailand.

kapal-ti-2-57ce50c1be22bd163f115f9e.jpg
kapal-ti-2-57ce50c1be22bd163f115f9e.jpg
Asap bermunculan dari cerobong kapal isap. Itu pertanda bahwa kapal-kapal sedang melakukan aktifitasnya. Air laut yang ketika kita duduk di bangku sekolah dasar, kita beri warna biru cerah, ternyata hal tersebut tidak berlsaya. Ketika kapal-kapal isap beroperasi, seketika warna air laut menjadi coklat dan keruh. Dasar laut teraduk-aduk tidak karuan, demi mengangkat sedikit pasir timah. Bagaimana tidak keruh, orang mata bornya saja ukurannya segedhe gaban.

Penasaran dengan hal tersebut, saya dan beberapa kawan pun mencoba untuk mampir sejenak di salah satu kapal isap yang sedang beroperasi. Awalnya kapal kami agak kesulitan untuk sandar karena ombaknya lumayan kuat. Trap. Kakiku pun mendarat dengan selamat. “Selamat siang mas, darimana?” begitu sapaan yang kami terima dari salah seorang petugas keamanan yang kebetulan saat itu sedang piket. Saya pun basa-basi saja, bilang kalau pengen lihat cara kerja kapal isap. Kami pun masuk. Memasuki ruang nakhoda, terdapat satu orang yang sedang sibuk melihat layar monitor sambil sesekali tangannya menggerak-gerakkan beberapa tuas yang ada di depannya. Ketika saya mengajak ngobrol orang tersebut, eh dianya hanya senyam-senyum saja. Usut punya usut ternyata dia orang Thailand. Kamprett..pantesan saja dia cengar-cengir. Bahasa inggispun dia nggak bisa. Payah. Ya sudah, maklum sajalah.

Terdapat beberapa monitor yang ada di dashboard sang nakhoda, yaitu antara lain echo sounder, GPS, dan cctv untuk memonitor pipa isap dan hasil tampungan pasir timah yang diperoleh. Untuk mendapatkan pasir timah, maka si nakhoda/operator menurunkan mata bor ke dasar laut dan selanjutnya diaduk-aduk hingga material di dasar laut terangkat. Material tersebut tersedot melalui pipa dan selanjutnya dialirkan ke ruang/tempat penyaringan untuk dilakukan penyaringan secara manual oleh para pekerja. Pasir timah yang telah dikumpulkan selajutnya dikemas dalam karung-karung berukuran kalau tidak salah 50 Kg. Karung-karung tersebut selanjutnya dibawa ke smelter untuk diolah menjadi timah batangan yang siap ekspor. Kapasitas produksi untuk setiap kapal isap rata-rata 50 ton/bulan dengan harga jual + 120.000,- per kilogram.

nakahoda-57ce50d782afbdd040a0ee98.jpg
nakahoda-57ce50d782afbdd040a0ee98.jpg
Nah, kemudian permasalahan pun timbul. Air limbah hasil saringan tadi langsung saja dibuang ke laut alias tidak melalui serangkaian pengolahan air limbah. Hasilnya ya air laut sekitar langsung menjadi keruh. Saya menduga bahwa di air limbah tadi terkandung juga lumpur atau pasir selain timah. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya sedimentasi pada terumbu karang. Saya dapat memastikan bahwa sedimen sisa penyedotan pasir timah tersebut paling tidak terbawa arus yang berdampak pada penutupan terumbu karang. Dan terumbu karang pun mati. Pengaruh kekeruhan air laut tersebut ternyata mencapai radius + 11 Km.

kerja-kapal-isap-ed-57ce50ec21afbd4c4361e6a2.jpg
kerja-kapal-isap-ed-57ce50ec21afbd4c4361e6a2.jpg
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun