Mohon tunggu...
rahmad nasir
rahmad nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Seorang aktivis mahasiswa Cipayung. Tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Perjalanan Malaysia; Dosen belajar bersama Mahasiswanya (Part 2)

5 Februari 2016   21:53 Diperbarui: 5 Februari 2016   22:05 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi yang cerah setelah mandi dan melaksanakan shalat subuh pada pukul 06.30. Para peserta berkumpul di halaman penginapan kampus Universitas Malaya (UM) dan berjalan kaki bersama menuju tempat berlangsungnya pelatihan penulisan jurnal internasional dan aplikasi Pemodelan RASCH pada assesment pendidikan serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Sepanjang perjalanan kami disuguhi gedung-gedung kampus yang menjulang tinggi, dari tampaknya bisa kita bayangkan bahwa kampus ini hanya bisa disandingkan dengan kampus-kampus besar di Indonesia seperti UI, UGM, IPB, UMM, ITB dan sebagainya.

Sesampainya di gedung pertemuan tepatnya di jalan Pantai Baru Aras 11 Wisma R & D Kuala Lumpur, ternyata tempat pelatihan berada di lantai 21 sehingga kami harus menggunakan lift untuk sampai ke atas, kampus yang lux dan begitu indah membuat saya terkagum-kagum dalam diam. Di ruang pelatihan yang harum, rapih dan bersih itu kami dipersilahkan untuk sarapan pagi dan berlanjut dengan pelatihan yang dibawakan oleh salah satu dosen Universitas Malaya (UM) Malaysia bernama Dr. Bambang Sumintono yang menulis dua buku bersama rekannya Dr. Wahyu Widhiarso tentang RASCH Model untuk penelitian. Pak Bambang Sumintono sebenarnya adalah orang Indonesia yang bekerja sebagai dosen di UM juga sebagai tim di Institute of Eductional Leadership University of Malaya sehingga saya ikut bangga dengan beliau sebagai orang Indonesia yang dipakai di Malaysia sebagai TKI alias Tenaga Kerja Intelektual.

Materi pun dimulai dengan santai, canda tawa serta menyenangkan. Di deretan kursih peserta kami duduk bersama-sama dengan empat dosen kami yang juga bergelar Doktor. Ternyata kapasitas mereka juga sebagai peserta, mereka pun bertanya seperti layaknya seorang peserta sehingga praktis tidak ada perbedaan antara kami. Padahal jika dipikir-pikir banyak diantara dosen apalagi memiliki gelar akademik tertinggi (Doktor) harus mau duduk belajar bersama para mahasiswanya. Jika tak mengerti mereka tak sungkan-sungkan mengacungkan tangan untuk mengajukan pertanyaan tentang materi penjelasan yang belum dipahami. Melihat kondisi seperti itu, maka saya lalu berfikir bahwa mereka yang telah menjadi akademisi/dosen bergelar Doktor saja masih mau belajar tanpa merasa rendah di hadapan mahasiswanya. Bagaimana dengan kita sebagai mahasiswa? Tanya saya dalam hati sehingga membuat saya pun mengajukan pertanyaan tentang materi yang tidak saya pahami. Teman-teman saya yang juga mahasiswa pun bertanya tentang materi yang tidak dipahamu.

Apa yang membuat saya heran bercampur kagum? Mereka tak pernah bosan untuk belajar, mereka tak merasa paling tahu, mereka tak merasa paling hebat, tak merasa rendah saat belajar bersama murid-muridnya, terlebih sangat menghargai jawaban atau pikiran-pikiran dari para mahasiswa. Saya jadi teringat tentang kisah Sokrates yang merasa dirinya paling bodoh di dunia, padahal dalam pandangan orang lain Sokrates adalah orang yang sangat pandai dan bijak dalam berbagai hal. Setidaknya kita bisa paham mengapa kata orang bijak bahwa manusia harus belajar dari padi tentang gagasan “semakin berisi semakin merunduk”, belajar dari gagasan teologi bahwa “semakin manusia belajar semakin ia merasa ia tak tahu apa-apa”.

Segala kelebihan yang melekat dalam diri memang sangat mudah dipermainkan ego dan berujung pada takabur yang melampaui batas-batas integritas seseorang. Jabatan besar di kampus serta gelar Doktor tak membuat empat dosen tersebut sombong membusungkan dada ego di hadapan kami para mahasiswa. Justru sesekali mereka berguyon dengan kami dengan sangat akrabnya sehingga kami semakin segan bukan “takut”. Saya pun malu dengan diri saya karena melihat realitas ini. Perjalanan ini bukan sekedar haus akan pengetahuan yang dalam bahasa pendidikan disebut pemenuhan aspek kognitif peserta namun lebih dari itu adalah tentang pembinaan karakter yang sangat berharga. Setelah ditelusuri ternyata satu dosen dari Universitas Ahmad Dalan (UAD) Yogyakarta berteman baik dengan Pak Sumintono yakni pak Jumintono yang juga bergelar Doktor, namun pak Jumintono tidak segan-segan belajar dari temannya pak Sumintono yang sama-sama bergelar Doktor tanpa beban sedikit pun bahkan mereka berdua sama-sama membuat projek penelitian tentang kepemimpinan kepala sekolah di Indonesia. Dalam sela-sela kegiatan pak Jumintono berkata nama mereka berdua hanya berbeda di huruf pertama saja karena pak Jumintono lahir pada hari Jumad dan pak Sumintono lahir pada hari Sumad, lantas kami pun tertawa lepas beramai-ramai. Perlu diketahui bahwa Pak Jumintono ini awalnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahkan sampai menjadi Kepala Sekolah, namun ia memutuskan untuk berhenti dari PNS dan Kepala Sekolah dan memilih untuk lebih bebas di dunia kampus yakni mengabdi di kampus Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang sebelumnya adalah IKIP Muhammadiyah Yogyakarta, satu-satunya perguruan tinggi Muhammadiyah yang memakai nama pendiri Perserikatan Muhammadiyah yakni K.H. Ahmad Dahlan. Saya lalu berfikir benar-benar gila orang ini. Alasannya sederhana bahwa di daerah saya NTT, PNS adalah pekerjaan yang diagung-agungkan orang sehingga setiap kali CPNS maka terjadi antrian ramai untuk berkompetisi memperbutkan kuota PNS di daerah. Entahlah, apa yang ada dalam fikirannya?.

Satu diantara dosen kami yang juga ikut sebagai peserta memiliki jabatan sebagai Wakil Direktur Pascasarjana UAD yang bergelar Doktor Insinyur (Dr. Ir) yang juga banyak bertanya saat sedang berlangsung pemaparan materi. Sedangkan dua (2) diantaranya juga adalah dosen bergekar Doktor dari jurusan Psikologi. Mereka begitu antusias mendengarkan materi, bertanya dan tidak sungkan menyatakan ketidakpahamannya terhadap materi yang masih membingungkan. Melihat para dosen yang demikian, maka para mahasiswa pun terangsang untuk serius dan antusias menyerap pengetahuan sebaik-baiknya.

Saat memasuki waktu makan siang, kami pun disuguhi makanan dan setelah itu kembali ke ruangan untuk melanjutkan materi kedua tentang penulisan jurnal. Sang pemateri tanpa sungkan menceriterakan tentang pengalaman pahitnya beberapa kali tulisannya ditolak sehingga ia sangat kecewa namun ia tetap bersemangat untuk menulis lagi dan memperbaiki hingga diterima tulisannya sebagai jurnal internasional yakni di Scopus dan Institute for Scientific Information (ISI). Saya bahkan tercengang dengan paparan data prestasi jumlah publikasi di Scopus antar 4 negara ASEAN yakni Indonesia dengan total publikasi 38 533 dan untuk kategori sosial sains berjumlah 3.544, sementara Malaysia dengan total 175.645 dan untuk kategori sosial sains berjumlah 13.826, sedangkan Singapura dengan total publikasi 219.133 dan untuk kategori sosial sains berjumlah 13.650 dan yang terakhir Thailand dengan total publikasi 125.273 dan untuk kategori sosial sains berjumlah 5.922. artinya bahwa Indonesia masih tertinggal dalam publikasi ilmiah meskipun baru dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Selain itu juga data publikasi setiap kampus juga menunjukkan bahwa Indonesia harus terus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan ini. Saya lalu berfikir entahlah apa faktor utama penyebabnya?. Selain itu di Malaysia, menurutnya dosen-dosen diperlakukan sangat keras yakni harus memiliki target dalam satu jangka waktu harus mampu mempublikasikan jurnal di kelas internasional yang bereputasi baik.

Kegiatan ini diakhiri dengan sesi foto bersama dan penyerahan sertifikat dari Universitas Malaya kepada kami para peserta. Tidak lupa kami meminta tanda tangan kepada sang artis intelektual di bukunya yang sudah kami beli, dengan ramah beliau melayani kami satu per satu bahkan melayani foto untuk masing-masing orang. Terima Kasih Tuhan telah mempertemukan saya dengan orang-orang penuh inspiratif. Rencanaya pada hari minggu, 07 Februari 2016 yang akan datang beliau akan ke Indonesia sehingga kami pun berniat akan mengundangnya untuk lebih detail dan praktis melatih kami mengolah data dalam aplikasi RASCH Model ini. Semoga suatu waktu saya kembali diberi kesempatan untuk kembali ke tempat ini. Amiiin ya Rabb.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun