Oleh Ben Senang Galus, Dosen, Penulis Buku/essai, tinggal di Yogyakarta
      Tuntutan akan perubahan di segala aspek kehidupan, pada dasarnya akan bermuara pada pemerintah sebagai penyelenggara ketatanegaraan, di mana birokrasi merupakan salah satu komponen dari unsur pemerintah yang mempunyai posisi dan peran yang sangat signifikan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dalam konteks birokrasi pemerintah di Indonesia memiliki dinamikanya tersendiri sesuai dengan perkembangan dan perubahan politik yang terjadi. Â Oleh sebab itu, wajah birokrasi lebih sebagai abdi negara dari pada sebagai pelayan masyarakat (public service) sebagaimana yang seharusnya. Dinamika ini pun belum pernah surut sampai saat ini, bahkan sampai sulit diuraikan. Â
Birokrasi sampai lapisan bawah lebih menampilkan dirinya sebagai sebuah institusi yang merupakan kepanjangan kepentingan pemerintah dirinya dan kroninya yang sedang berkuasa. Dari periode satu ke periode lainnya, jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, pengentasan kemiskinan, perbaikan kesehatan masyarakat, perbaikan mutu pendidikan menjadi target utama, semuanya hanya angan-angan belaka. Birokrasi diposisikan sebagai insitusi pemerintah dalam mengamankan jalannya pembangunan.
        Otoritarianisme kekuasaan  pemerintah yang merupakan kelanjutan pemerintahan di masa lalu, telah mendorong lahirnya sebuah birokrasi yang buruk, kaku, tidak transparan, jauh dari demokratis dan tidak berpihak pada rakyat, sehingga menyuburkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan politik tertentu (melanggenngkan kekuasaan). Mengingat begitu kuatnya peran dan posisi birokrasi dalam segala sendi kehidupan di masyarakat, sampai ilmuwan Karl D. Jackson dan Lucian Pye, dalam Political Power Communications in Indonesia (1978), mengkategorikan birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic polity.
Dalam pemahaman Karl. D Jackson dan Lucian Pye, bureaucratic politity, diterjemahkan sebagai suatu bentuk segala upaya pemerintah yang berkuasa untuk memanfaatkan instrumen birokrasi sebagai alat untuk mengatasi disfungsionalitas-disfungsionalitas maupun resiko-resiko yang dapat membahayakan kelangsungan sebuah sistem. Dalam konteks ini, sistem yang dimaksud adalah sistem politik yang dikembangkan dan dibangun oleh pemerintah pada masa itu, untuk mempertahankan kekuasaannya melalui berbagai macam cara.
Reformasi telah membawa harapan baru bagi masyarakat kita. Reformasi telah memberikan peluang akan lahirnya demokratisasi dan transparansi di berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya penampilan baru birokrasi sebagai---new public management--, salah satu instrument negara, ternyata amburadul. Tingginya tuntutan masyarakat akan adanya perubahan dan perbaikan, telah memaksa pemerintah pusat dan daerah yang berkuasa sebagai penyelenggara negara, menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance).
Kebudyaan Handarbeni
Birokrasi kita memang mengenal disiplin kerja keras dan tradisi memupuk kekayaan dan budaya hidup mewah. Tradisi ini menurut Prof. Sartono Kartodirdjo disebutnya sebagai kebudayaan handarbeni, yakni kebudayaan yang menganggap bahwa segala yang ada di wilayah kewenangan identik dengan miliknya. Hak sebagai pejabat ditafsirkan seolah-olah kekuasaan yang dipegang dan wilayah yang menjadi tanggungannya menjadi hak milik pejabat yang bersangkutan. Sikap seperti ini masih terlihat pada sebagian para birokrat kita.
Merebaknya tradisi memupuk kekayaan (baca: korupsi) dalam birokrasi, mengakibatkan rusaknya sistem birokrasi, melampau batas-batas kewajaran yang dapat dilihat pada semakin merusaknya sistem perekonomian kita, karena, birokrasi kita terperangkap dalam moral yang diciptaknnya sendiri, yakni mentalitas korup(si).