Oleh Ben Senang Galus, Dosen UNICIMI dan Penulis Buku, tinggal di Yogyakarta
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI)  Indonesia (Februari 2025), dengan skor 37 dari 180 negara yang disurvey. Ini menunjukkan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi yang buruk. Dengan bahasa lain Indonesia belum berubah posisinya dari  daftar negara paling korup di dunia. Jika dibandingkan dengan 10 negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di peringkat ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste dan Vietnam.
Korupsi di Indonesia sangat melekat dengan birokrasi sebagai pelayan publik, maka kita lalu bertanya bagaimana kondisi sosial budaya birokrasi kita saat ini? Jawabannya tunggal: Â memasuki "emergensi", atau lebih tepatnya sudah mendekati, Â "at death's door" alias di ambang kematian. Proses penyembuhannya membutuhkan waktu sebagai dampak negatif sistem birokrasi yang buruk, melampau batas-batas kewajaran yang dapat dilihat pada semakin rusaknya birokrasi pemerintahan kita.
Dampak lebih luas, pelayanan birokrasi menjadi semakin jauh dari masyarakat yang dilayaninya, menjadi terperangkap dalam moral yang diciptaknnya sendiri, yakni mentalitas " menjadikan lembaga birokrasi sebagai institusi perbaikan gizi atau perbaikan ekonomi birokrat.".
Korupsi membuat kebudayaan birokrasi (baca: manusia birokrasi) bukan lagi sebagai subyek human yang otonom melainkan budak yang tertindas karena keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma birokrasi  "dijungkirbalikan" oleh budaya korupsi.
Banalitas Korupsi
Maka tidak  mengherankan kalau rasa keadilan sosial,  etika sosial, solidaritas sosial pada kalangan manusia birokrasi  telah mengalami banalitas atau lebih ekstrem telah mengalami kematian. Karena etika, keadilan sosial, solidaritas sosial, bahkan moral birokrat, norma-norma birokrasi  diganti dengan etika individual yang menjadi tolok ukur dari kriterium nilai.
Indonesia Corruption Watch (ICW17 Juni 2005), Â menyebut banalitas kejahatan korupsi, bukan suatu konsepsi teoretis, tetapi sebagai fenomena faktual dan konkret. Banalitas kejahatan korupsi bukan suatu tindakan kejahatan luar biasa, tetapi tindakan yang dianggap biasa oleh pelakunya. Contohnya adalah pelaku penyuapan yang beralibi bahwa persoalan suap sudah merupakan persoalan wajar karena realitas memang sudah demikian.
Banalitas kejahatan korupsi merupakan serangkaian tindakan kejahatan yang tidak bisa dilacak pada gangguan kejiwaan yang diidap pelaku. Para pelaku banalitas kejahatan korupsi adalah orang yang normal-sehat secara psikologis. Namun, patologi banalitas kejahatan korupsi  adalah tumpulnya nurani dan kedangkalan berpikir.
Dalam kasus yang dialami Thomas Lembong dan beberapa koruptor yang saat ini sedang diproses oleh penegak hukum misalnya, mereka tidak berani mengambil keputusan berdasar evaluasi pikiran kritis dan nurani. Padahal, nurani dibutuhkan sebagai pembimbing dalam memutuskan tindakan. Sebuah tindakan sudah semestinya diuji dengan pikiran kritis agar tahu bahwa yang akan diputuskan merupakan perbuatan baik atau jahat. Namun justru yang kita dapati adalah jawaban yang banal. Misalnya berdalih bahwa tidak ada unsur kerugian keuangan negara. Inilah gejala ketidakmampuan berpikir mendalam dan mengevaluasi perbuatan secara kritis yang mendasari banalitas kejahatan korupsi