Oleh Ben Senang Galus, Warga Umat Katolik Paroki Santo Paulus Pringglayan, Bantul, Yogyakarta
Menjelang hari raya Idul Fitri  pusat perbelanjaan ramai dikunjungi pembeli.  Tradisi berbelanja, entah onlie atau offline, ternyata juga soal pandangan hidup. Mereka yang berada biasanya merayakan Idul Fitri dengan menghadirkan sesuatu yang baru di rumahnya, maka muncullah budaya konsumtif di kalangan sebagian orang. Makna Idul Fitri telah bergeser dari pola hidup sakmadya (sederhana) ke pola hidup konsumtif.  Â
Bagaimanapun pendapat ini ada benarnya, tetapi bukan itu referensi yang tepat bagi Habitus Idul Fitri. Habitus Idul Fitri sesunggunya adalah manusia menjadi sehabat bagi sesamanya. Hari Raya ini tidak hanya menjadi momen kemenangan, tetapi juga memiliki makna mendalam dalam kehidupan spiritual, sosial dan membangun kesadaran kemanusiaan sebagai makluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.
Meski pada dasarnya umat muslim disunnahkan untuk menggunakan pakaian baru, tetapi secara hakikat, bukan itu makna sesungguhnya dari Hari Raya Idul Fitri. Lebih dari itu, Idul Fitri dimaknai sebagai bentuk refleksi diri, bentuk rasa syukur, kegembiraan, bentuk solidaritas terhadap sesama, bentuk partisipasi terhadap sesama. Ketika orang melakukan semua itu sesungguhnya itu sebuah ungkapan kerendahan hati, ungkapan kemenangan seseorang sebagai umat Allah.
Oleh karena itu Idul Fitri adalah kesunyian dan keheningan. Kesunyian menyergap rasa mengepung raga dan nafsu syahwat. Itu sebabnya kesunyian selalu dihindari, khususnya para penikmat kegemerlapan dan keriuhan. Dan sejatinya kesunyian selalu menyembunyikan kesadaran jiwa untuk lebih bisa memaknai bahwa di kesunyian justru kita mampu mendengar tentang gema "kemanusiaan" kita apabila kita sudah menemukannya, dalam hari raya Indul Fitri.
Historisitas Kemanusiaan
Idul Fitri sebagai peristiwa perjumpaan Allah dengan manusia dalam bingkai historisitas kemanusiaan Allah sendiri di wajah sesama manusia sebagai gambaran citra Allah. Dia menyejarah melampaui batas luasnya alam semesta karena keagungan dan kemuliaan manusia harus direhabilitasi karena jarak merenggangkan tali-temali relasi Allah dan manusia tak dapat lagi diukur akibat pemberontakan manusia itu sendiri.
Idul Fitri sebagai peristiwa keabadian Allah-- rekonsiliasi hubungan dengan Allah-- melalui sesama manusia telah diretas sempurna oleh Allah sendiri. Allah hadir dan berada dalam keheningan dan kesunyian senyap yang memayungi keterbatasan logika dan hati kita. Tidak ada yang mendengar, tidak ada yang mendampingi Allah ketika mentaati otoritas yang dirakhmatkan pada dirinya sebagai transendern yang berbahagia karena akan melahirkan manusia yang fitri, yang artinya suci.
Idul Fitri tidak saja perayaan kemenangan, tapi ia lebih dari itu, Idul Fitri harus membawa perubahan pola pikir (metanoia) menuju ke arah yang lebih baik serta mewujudkan budaya perjumpaan iman yang mendalam dalam solidaritas kemanusiaan yang baik dan benar-benar bebas dari kegelisahan penjara kapitalisme. Demikian pula Idul Fitri harus menggetarkan (iuvenale), artinya kehadiran kita, sebagai transubstansiasi Idul Fitri di tengah masyarakat tidak saja formasi tapi sungguh membawa transformasi kehidupan yakni, ennoble (memaknai, mengilhami), ennable (memampukan), dan empower (memberdayakan).  Tiga hal tersebut dibingkai dalam spirit Idul Fitri, servant (pelayan), steward (pengurus), dan shepherd (Nabi). Tiga spirit itulah yang selalu didengungkan oleh para Nabi zaman dahulu, yakni menjadi manusia yang agung, seorang yang tidak berhenti berusaha  untuk mempertajamkan kemampuan, pengetahuan, dan wawasannya demi panggilan dalam pelayanan, kepemimpinan, dan kepengurusan, tapi lebih dari itu mempunyai daya ubah.
Sahabat Bagi Sesama
Homo homini socius merupakan ungkapan Bahasa Latin yang digulirkan oleh Nikolaus Driyarkara SJ, seorang filsuf Indonesia. Terjemahan Bahasa Indonesia ungkapan ini adalah "manusia menjadi sahabat bagi sesamanya". Ungkapan tersebut merupakan kebalikan dari "homo homini lupus " - manusia menjadi serigala bagi sesamanya, yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes melalui bukunya "Leviatan".