Mohon tunggu...
Rahma Indira Wardani
Rahma Indira Wardani Mohon Tunggu... -

Bekerja sebagai peneliti dan konsultan di Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (Center for Health Administration and Policy Study/CHAMPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pro Kontra Perawatan Penyakit Perokok tidak Dijamin Program JKN

17 November 2015   15:03 Diperbarui: 4 April 2017   17:30 1832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Wacana JKN tidak menanggung biaya perawatan penyakit berhubungan rokok telah bergulir sejak dikeluarkannya Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Meskipun Perpres tersebut mengalami perubahan dan menjadi Perpres No. 111/2013, gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri tetap tidak dijamin pelayanan kesehatannya. Hal ini tertuang dalam pasal 25 (1) butir j Perpres No. 111/2013.

Awal Maret 2014, Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan dan Keluarga Berencana Kemenko Kesra, Dr. Emil Agustiono menerangkan bahwa saat itu peraturan perundangan terkait penyakit akibat rokok sedang disusun pemerintah, buku panduan akan dibuat oleh IDI dan Kementerian Kesehatan.

Menurutnya, secara teknis pelaksanaannya, nantinya buku akan memandu dokter untuk memilah pasien apakah perokok atau bukan, ada perokok di sekitar atau tidak dan mengidentifikasi penyakit-penyakit terkait rokok termasuk memeriksa ada tidaknya gejala terpapar rokok.

Sedangkan, bila peraturan tersebut telah rampung, maka pelayanan kesehatan perokok tidak akan dibiayai oleh APBN maupun BPJS Kesehatan, melainkan harus menggunakan asuransi komersil.

Pro, Kontra Tidak Dijaminnya Perawatan Kesehatan Perokok dalam Program JKN

Pembuktian Kebiasaan Konsumsi Rokok tidak Hanya Merugikan Negara dari segi kesehatan, namun juga dari Segi Finansial

Kenyataannya, kebiasaan merokok memang berhubungan erat dengan lebih dari 20 penyakit yang mematikan dan bisa dicegah (WHO, 2015).

Tapi "racun" dalam asap rokok bukan penyebab tunggal suatu penyakit, biasanya ada penyebab lain yang turut menyebabkan (memperberat atau memicu) penyakit tersebut.  Misal stroke, selain merokok, konsumsi makanan berlemak, kurang berolahraga, merupakan penyebabnya.  Bagaimana menapis penyakit tersebut dibiayai atau tidak oleh JKN? Perokok bisa saja menjawab bukan perokok saat dokter menanyakannya. Pada kasus penyakit tertentu, tidak mudah untuk mengetahui apakah pasien perokok atau bukan.

Mayoritas perokok adalah kalangan rakyat miskin (berdasarkan Riskesdas 2013, sekitar 60% dari total perokok). Pasien dari kalangan rakyat miskin tidak akan mampu membayar premi asuransi swasta. Siapa yang akan membayarnya? Bila industri rokok yang diminta membayar, maka harus ada regulasi yang tegas dan berani  mengidentifikasi dan menyebutkan diagnosa penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok meskipun ada etiologi/penyebab penyakit yang lain.

Pemerintah harus menyiapkan argumentasi kuat dan mengidentifikasi secara komprehensif perilaku yang dikategorikan sengaja menyakiti diri sendiri dan hobi yang membahayakan diri sendiri.  Misalnya apakah penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan malas mencuci tangan, kebiasaan makan makanan berlemak, makan dan minuman berkadar gula/kalori tinggi, minum alkohol juga tidak dibiayai oleh program JKN?

Atau bagaimana bila ada pecinta alam backpacker yang juga peserta JKN yang masuk IGD, harus segera masuk ruang operasi dan rawat inap karena perdarahan dan patah tulang akibat hobinya mendaki gunung, berarti biayanya tidak dibayar JKN? Bagaimana bila ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membayarnya, apakah ia tidak akan dirawat?   

Efek Jera Perokok atau Pencegahan Peningkatan Beban Negara atas Perawatan Penyakit yang Berhubungan dengan Rokok

Apakah tujuan Pasal 25 (1) butir j Perpres 111/2013? Apakah Efek jera perokok atau/dan pencegahan membengkaknya beban terhadap APBN atas perawatan penyakit yang berhubungan dengan rokok?

Bila tujuannya adalah memberi efek jera bagi perokok, maka seharusnya perokok pasif yang merupakan korban dan kerabat perokok aktif tidak dibiayai JKN juga, agar perokok aktif terbebani tanggung jawab.

Di sisi lain, perokok dari kalangan rakyat miskin yang mencapai 60% dari seluruh perokok tidak akan mampu membayar premi asuransi swasta? Pemerintah tidak bisa meminta industri rokok untuk membayar premi para perokok karena hal ini dapat menjadi argumentasi, kamuflase CSR, mendukung pencitraan baik dan pemasaran industri rokok dan produknya.  Hal ini memicu peningkatan jumlah perokok pemula.

Solusi Strategis

Ada solusi lain yang lebih menguntungkan semua pihak untuk menyelesaikan tantangan ini, yaitu peningkatan cukai yang setinggi-tingginya. Untuk pencegahan membengkaknya beban terhadap APBN atas perawatan penyakit yang berhubungan dengan rokok, maka sebaiknya biaya dapat didapatkan dari cukai rokok serta mengusulkan dan mendukung pembiayaan iuran JKN bagi seluruh Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dari sektor informal dan anggota keluarganya sebagai salah satu earmarking/pemanfaatan cukai rokok.

Selain itu, earmarking cukai rokok perlu didukung agaar dapat dipergunakan untuk: promosi kesehatan terkait pengendalian konsumsi rokok; penelitian pengendalian konsumsi rokok (termasuk, penelitian diversifikasi produk tembakau serta cengkeh dan diversifikasi tanaman tembakau serta cengkeh, penelitian tingkat efektifitas dan efisiensi program-program pengendalian konsumsi rokok); pelatihan buruh industri rokok untuk diversifikasi mata pencaharian; pelatihan petani tembakau dan cengkeh untuk diversifikasi tanaman; pembiayaan kegiatan kepemudaan, olahraga dan seni budaya; pengembangan lapangan kerja baru padat karya untuk menyerap buruh industri rokok yang beralih mata pencaharian; pengembangan sistem cukai rokok untuk menurunkan angka perdagangan rokok ilegal.

Untuk mengurangi potensi beralihnya perokok ke rokok yang lebih murah, perlu kebijakan lain yang perlu didukung adalah menyederhanakan tingkatan tarif cukai yang ditarifkan kepada rokok. Saat ini Indonesia memiliki 12 tingkatan tarif cukai rokok, artinya perokok disuguhkan berbagai pilihan harga rokok, mulai yang mahal hingga yang murah. Harga rokok murah atau mahal, tergantung kemampuan keuangan perokok dan posisi kenaikan harga rokok terhadap kenaikan harga barang kebutuhan pokok.

Selain menjadi solusi tantangan pembiayaan kesehatan, kenaikan cukai rokok setinggi-tingginya menjadi solusi juga bagi penurunan prevalensi perokok (terutama kalangan rakyat miskin yang mayoritas perokok aktif, tidak mampu membiayai sendiri pelayanan kesehatan, serta akan terpaksa berhenti merokok karena kenaikan harga rokok yang tidak terjangkau) dan perokok pemula (generasi muda penerus bangsa, belum mampu menghasilkan uang dan biaya hidup bergantung pada orang tua) berkurang.

Mari kita dukung penyelamatan generasi muda penerus bangsa dan masa depan bangsa melalui kenaikan harga rokok dan peningkatan cukai rokok yang jauh lebih tinggi dari GDP dan inflasi, penyederhanaan tingkatan tarif cukai rokok, serta mendukung earmarking cukai rokok yang optimal, transparan, efektif dan efisien dalam rangka pengendalian konsumsi rokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun