Reshuffle kabinet yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto pada 17 September 2025 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 96/P Tahun 2025 menyisakan satu nama yang mengejutkan publik: Djamari Chaniago.
Bukan main-main, Prabowo menunjuk Djamari sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam). Sebuah jabatan yang mentereng di kabinet merah putih.
Kejutan itu bukan tanpa alasan. Djamari bukan figur baru dalam perjalanan panjang Prabowo, bahkan bisa dibilang bagian dari "luka lama" yang penuh sejarah.
Djamari adalah salah satu perwira tinggi yang dulu duduk di kursi Sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI tahun 1998, lembaga yang memutuskan pemberhentian Prabowo dari dinas militer di tengah gejolak reformasi.
Dua dekade lebih berselang, justru nama itu kini dipanggil masuk ke lingkaran inti pemerintahan Prabowo sebagai Menko Polkam, posisi strategis yang bertugas menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional.
Dari Rivalitas ke Rekonsiliasi
Langkah Presiden Prabowo memilih Djamari tentu tidak sederhana. Ia memerlukan keberanian untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.
Narasi ini sejalan dengan pernyataan Prabowo yang berulang kali digaungkan: "Dalam perjuangan besar untuk merah putih, tidak boleh ada ruang pribadi."
Pernyataan itu kini menemukan wujudnya. Dengan mengangkat Djamari, Prabowo menunjukkan sikap negarawan yang tidak terjebak dalam romantisme konflik masa lalu.
Rekonsiliasi ini bukan hanya simbol, tetapi juga strategi. Dalam dinamika politik dan keamanan yang semakin kompleks, kehadiran figur seperti Djamari yang memiliki pengalaman panjang dalam tubuh militer, birokrasi, dan lembaga hukum memberi bobot legitimasi dan integrasi baru pada koordinasi lintas sektor.