Pemikiran Sumitro Djojohadikusumo bin RM Margono Djojohadikusumo (29 Mei 1917-9 Maret 2001) tentang ekonomi pembangunan kembali relevan dalam konteks Indonesia modern.
Sumitro Djojohadikusumo adalah salah satu angkatan intelektual muda Indonesia yang gemilang di zamannya.Â
Bayangkan, di usia 26 tahun, dia sudah menyandang gelar doktor ilmu ekonomi dari Nederlandse Economische Hogeschool dengan disertasinya "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi".
Kemudian, tahun 1950 saat usianya genap 33 tahun, Pak Cik diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam kabinet Natsir. Tahun 1952, Pak Mitro menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo.
Bukan hanya di level nasional, Sumitro pada 1953 (36 tahun) oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).Â
Nama Sumitro, bukan hanya lekat dengan sejarah ekonomi Indonesia, tetapi juga merepresentasikan suatu pendekatan khas terhadap pembangunan yang kini bisa dibaca ulang secara lebih segar dalam lanskap global pascakolonial dan krisis neoliberal.Â
Sebagai arsitek kebijakan ekonomi era 1950-an hingga 1990-an, ayah dari Presiden Prabowo ini menawarkan kerangka pemikiran yang memadukan keindonesiaan, sosialisme, dan pragmatisme--sebuah triad yang kini dikenal sebagai Sumitronomics.
Artikel ini mengusulkan pembacaan ulang atas pemikiran Sumitro sebagai basis dari paradigma pembangunan alternatif yang berakar pada realitas Global South, jauh sebelum istilah itu menjadi arus utama dalam literatur ekonomi pembangunan.
Sumitronomics: Di Antara Etatisme dan Kapitalisme Progresif
Dalam artikel ini, Kompasianer akan menemukan istilah Global South (Selatan Global), Dunia Ketiga, dan istilah teknis lainnya.