Penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada kuartal I 2025 mencatat sejarah baru.
BP Tapera, di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, berhasil menyalurkan 53.874 unit rumah subsidi--lonjakan lebih dari 1.100% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang hanya 4.229 unit (Bloomberg, 21/5/2025).
Capaian ini membuktikan fokus pemerintahan Prabowo yang menekankan pada kerja konkret dan efisiensi dalam program-program strategis nasional.
Peningkatan ini bukan sekadar statistik, melainkan sinyal perubahan paradigma dalam kebijakan perumahan nasional.
Namun, apakah angka tersebut merepresentasikan lompatan substantif dalam penyediaan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?
Ataukah kita sedang menyaksikan gejala statistical populism--di mana data digunakan sebagai retorika keberhasilan tanpa menyentuh akar permasalahan struktural?
Dari Kuantitas ke Kualitas: Apa yang Berubah?
Lonjakan penyaluran FLPP ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada beberapa faktor kunci yang mendorong akselerasi luar biasa ini:
- Kebijakan Pro-Rakyat: Pemerintah menghapus BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan biaya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk MBR, menurunkan hambatan biaya awal bagi pembeli rumah pertama.
- Target Ambisius: Kuota KPR FLPP 2025 dinaikkan dari 220.000 menjadi 350.000 unit, mendukung program tiga juta rumah murah yang dicanangkan Presiden Prabowo.
- Inovasi dan Perluasan Segmentasi: BP Tapera memperluas segmentasi penerima manfaat hingga 20 kelompok MBR dan mempercepat proses serah terima rumah.
- Sinergi Lintas Sektor: Kolaborasi antara pemerintah pusat, lembaga keuangan, pengembang, dan regulator mempercepat realisasi di lapangan.
Analisis Teoritik: Efek Multiplikasi FLPP
Dari perspektif teori kebijakan publik dan ekonomi perumahan, keberhasilan FLPP dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan: