Ketika pembangunan sering kali gagal menyentuh mereka yang hidup di pemukiman kumuh, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana negara dan masyarakat bisa komunikasi yang adil dan setara kepada mereka yang tak terdengar dan terpinggirkan?
Di sinilah seni mengambil peran bukan sebagai ornamen, melainkan sebagai instrumen politik harapan. Misi kebudayaan seharusnya menjadi instrumen strategis dalam transformasi sosial, khususnya bagi komunitas marjinal.
Artikel ini membahas bagaimana misi kebudayaan--dalam bentuk film, musik, dan seni visual--digunakan sebagai strategi perubahan sosial di tengah kaum papa.
Melalui pembelajaran dari praktik-praktik progresif negara-negara Bolivarian seperti Venezuela dan Bolivia, pendekatan seni partisipatif telah membuka ruang bagi kaum miskin perkotaan untuk merekonstruksi identitas, mengadvokasi hak-hak dasar, dan menciptakan narasi alternatif melawan marginalisasi.
Di Indonesia, di mana ketimpangan sosial masih lebar, praktik serupa bisa menjadi model alternatif pembangunan kebudayaan inklusif. Selanjutnya, artikel ini mengaitkannya dengan kemungkinan dan keterbatasan yang dihadapi Indonesia hari ini.
Kekayaan Budaya di Tengah Komunitas Warga yang Berubah Cepat
Berbagai seni pertunjukan tradisional Indonesia kini mulai ditinggalkan masyarakat, terutama di tengah perubahan selera generasi muda dan arus modernisasi yang kuat.
Saya, sebagai warga Depok, dulu masih menemukan gelaran Lenong di daerah Beji. Kini, sudah sangat sulit menemukan acara tersebut. Jika pun ada, biasanya berbarengan dengan acara pernikahan seorrang kawan dari kallangan menengah-atas.
Di sisi yang lain, terdapat faktor tekanan ekonomi pasca-pandemi yang cukup signifikan. Daya tahan komunitas-komunitas seni untuk mempertahankan pembiayaan operasional, upah karyawan, dan sebagainya menjadi persoalan yang tidak ringan.
Berikut adalah contoh-contoh seni pertunjukan yang mengalami penurunan minat dan bahkan terancam punah:
- Wayang (Wayang Kulit, Wayang Orang, Wayang Golek, Wayang Beber): Wayang, yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia, kini semakin jarang diminati generasi muda. Pertunjukan wayang sering kali hanya dihadiri oleh kalangan tua, sementara anak muda merasa pertunjukan ini kurang menarik, kaku, dan sulit dipahami karena penggunaan bahasa daerah yang tidak lagi akrab bagi mereka. Wayang beber, salah satu bentuk wayang tertua, bahkan hampir tidak pernah dipentaskan lagi dan terancam punah.
- Ludruk Tradisional: Seni teater rakyat asal Jawa Timur yang menggabungkan cerita rakyat, humor, dan kritik sosial ini kini mulai kehilangan popularitas. Ludruk tradisional semakin jarang dipentaskan dan mulai tergeser oleh bentuk hiburan yang lebih modern.
- Ketoprak Dor: Di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, ketoprak dor yang dulu sangat digemari kini hanya tampil satu kali sebulan, bahkan para pelakunya harus mencari penghasilan tambahan di luar seni pertunjukan karena minimnya undangan tampil.
- Tari Tradisional (misal: Tari Merawai, Tari Topeng Natuna): Banyak tari daerah, seperti tari merawai dari Kepulauan Riau dan tari topeng dari Natuna, kini jarang dimainkan. Kurangnya regenerasi membuat eksistensi tari-tari ini semakin meredup, terutama di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
- Sisingaan: Seni pertunjukan asal Subang, Jawa Barat, yang awalnya menjadi simbol perlawanan kini masuk kategori hampir punah karena jarang ditampilkan.
- Tayub Tradisional: Tarian rakyat yang biasanya diadakan dalam upacara adat ini juga mulai menghilang, tergantikan oleh hiburan yang lebih modern dan komersial.
- Karawitan dan Gamelan: Seni musik tradisional seperti karawitan dan gamelan juga semakin kurang diminati oleh generasi muda, yang lebih memilih hiburan modern dan budaya populer luar negeri.
- Jaranan Buto dan Topeng Malang: Dua seni pertunjukan dari Jawa Timur ini juga semakin jarang ditemukan karena minimnya dukungan dan regenerasi.