Hari Buku Nasional, yang setiap tahun diperingati pada 17 Mei, seharusnya menjadi momentum refleksi sekaligus perayaan atas peran buku dalam membangun peradaban.
Namun, di balik seremonial dan postingan media sosial yang ramai, ada fakta pahit: minat baca kita masih sangat rendah.
Data UNESCO (2021) menyebutkan, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang serius membaca.
Lucunya, Indonesia adalah negara kedua setelah India yang memiliki jumlah perpustakaan terbanyak di dunia.
Paradoks Statistik: Banyak Perpustakaan, Sedikit yang Membaca
Indonesia secara kuantitatif boleh berbangga: negeri ini memiliki lebih dari 164.000 perpustakaan, terbanyak kedua di dunia setelah India.
Namun, di balik angka fantastis itu, tersembunyi ironi: rasio buku terhadap penduduk hanya 0,09--artinya satu buku harus "diperebutkan" oleh sembilan orang, jauh dari standar UNESCO yang mensyaratkan tiga buku baru per orang per tahun.
Ini bukan sekadar soal ketersediaan, melainkan juga distribusi dan akses yang timpang.
Meski survei World Reading Habits 2020 menempatkan Indonesia di peringkat ke-16 dunia dalam intensitas membaca (sekitar 6 jam per minggu), data terbaru menunjukkan rata-rata waktu membaca orang Indonesia hanya 1 jam 37,8 menit per hari, atau tak sampai 10 jam per minggu.
Sementara itu, UNESCO pernah mencatat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001-dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca.