Tahun-tahun sebelumnya, kendaraan roda empat adalah sahabat perjalanan pulang kampung. Namun, mudik kali ini, saya dan keluarga memilih perjalanan yang agak berbeda: menembus jalur rel dari Depok menuju Sukabumi dengan Kereta Api Pangrango.
Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya sekira 98,9 kilometer dengan waktu tempuh 3 jam 38 menit via jalan tol Cijago dan Bocimi.
Namun, karena khawatir terjebak kemacetan yang sulit diprediksi ditambah tarif tol dan bahan bakar yang tidak sedikit, akhirnya kami memutuskan untuk memilih kereta api.
Bagi kami, mudik bukan sekadar perpindahan kota, tapi perjalanan pulang yang sarat makna, menelusuri jejak sejarah, alam, dan kenangan masa kecil.
Saya dan istri, memiliki banyak kesempatan untuk bercerita kepada anak-anak tanpa harus direpotkan dengan traffic light dan kemacetan jalan raya.
Pagi itu, kami berangkat dari Depok menggunakan commuter line menuju Stasiun Bogor, titik awal perjalanan kereta Pangrango. Kami sengaja memilih jadwal 07.45 WIB, karena udara yang masih segar dan cuaca masih cerah.
Ada sensasi nostalgia saat tiba di stasiun Bogor ini--aroma kopi, suara peluit, dan lalu-lalang penumpang yang membawa cerita mudik masing-masing.
Bogor, kota hujan dengan cerita kolonialnya yang kental. Dulu, di era kolonial, jalur kereta ini dibangun untuk mengangkut hasil bumi dari pedalaman Priangan ke Batavia.
Kini, jalur yang sama menjadi saksi bisu perjalanan kami menuju Sukabumi, tempat ibu saya menanti di rumah tua yang penuh kenangan.
Seperti kata Yi-Fu Tuan dalam teori Topofilia-nya bahwa manusia terikat pada tempat bukan hanya karena fisiknya, tetapi juga karena kenangan yang mengakar di dalamnya.