Setiap kali Hari Buruh Sedunia diperingati, ada satu lagu yang nyaris tak pernah absen: Internasionale, termasuk di Monumen Nasional (Monas) tahun ini, ketika Presiden Prabowo turut bernyanyi bersama ratusan ribu kaum buruh.
Momen ini menciptakan resonansi simbolik yang kompleks: lagu revolusioner bersejarah kini bersanding dengan kekuasaan negara, menandai pergeseran makna dan tafsir ideologis yang menarik untuk dikaji secara historis dan teoritik.
Bagaimana lagu ini bisa menjadi "lagu wajib" gerakan buruh dunia, dan bagaimana jejaknya sampai ke Indonesia hingga dialihbahasakan oleh Ki Hajar Dewantara?
Sejarah Internasionale: Lahir dari Bara Perlawanan
Lagu Internasionale lahir dari puing-puing Komune Paris 1871--sebuah pemerintahan kelas pekerja pertama di dunia yang hanya bertahan 72 hari sebelum dihancurkan oleh represi borjuis.
Liriknya ditulis Eugene Pottier, seorang buruh sekaligus anggota Komune Paris, dalam pelarian usai kegagalan revolusi. Musiknya kemudian digubah Pierre De Geyter pada 1888, memperkuat aura militansi dan solidaritas yang terkandung dalam syair aslinya.
Lagu ini dengan cepat menjadi simbol perlawanan kelas pekerja melawan kapitalisme dan penindasan, diadopsi oleh hampir seluruh gerakan anti kapitalisme dan buruh di seluruh dunia (Gros, 2013).
Sejak 1890, Internasionale diadopsi sebagai lagu resmi gerakan sosialis internasional, dan menjadi simbol perlawanan terhadap kapitalisme, imperialisme, dan segala bentuk penindasan.
Lagu ini bahkan menjadi lagu kebangsaan Uni Soviet pada 1922-1944, dan diterjemahkan ke puluhan bahasa--dari Rusia, Mandarin, hingga Indonesia.
Mengapa Jadi Lagu "Wajib"?