Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi, serta memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada seharusnya menjadi kekuatan maritim utama.
Namun, ironisnya, tata kelola keamanan laut di Indonesia justru masih terfragmentasi. Setidaknya terdapat 13 instansi yang memiliki kewenangan menjaga laut--mulai dari TNI AL, Polairud, Bakamla, KPLP, hingga Ditjen Bea dan Cukai.
Ketiadaan satu komando terpadu menyebabkan tumpang tindih kewenangan, lemahnya respons terhadap pelanggaran laut, dan inefisiensi anggaran. Ego sektoral menjadi penghambat utama efisiensi operasional.
Situasi ini melahirkan ide pembentukan Indonesian Coast Guard sebagai solusi kelembagaan permanen yang bersifat sipil, profesional, dan bersinergi.
Muncul sebuah pertanyaan mendasar: apakah ide ini realistis bagi Indonesia?
Artikel ini mengulas secara kritis relevansi ide ini dengan kondisi Indonesia, membandingkan dengan model tata kelola coast guard di berbagai negara, dan menggunakan pendekatan teoritik kebijakan publik serta integrated maritime governance (Bueger, 2015).
Masalah Ego Sektoral dan Fragmentasi Kelembagaan
Menurut studi Kurniawan & Fitri (2020), ego sektoral di antara lembaga keamanan laut Indonesia memperlemah upaya pengawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), memperlambat penanganan kejahatan lintas negara, dan memperbesar potensi konflik antar-instansi.
Koordinasi yang hanya bersifat formalistik, seperti Forum Koordinasi Keamanan Laut, seringkali tak berjalan efektif karena masing-masing lembaga tetap mengedepankan otoritas sektoralnya.
Fragmentasi ini sejalan dengan temuan teori institutional fragmentation (Biermann et al., 2009), yang menyebutkan bahwa institusi dengan kewenangan tumpang tindih cenderung mengalami konflik kepentingan, kompetisi sumber daya, dan kebijakan yang inkonsisten.