Kepergian Paus Fransiskus, pemimpin spiritual bagi lebih dari 1,3 miliar umat Katolik di seluruh dunia--sekaligus sebagai pemimpin takhta apostolik dan kepala negara Vatikan--meninggalkan warisan spiritual yang tidak hanya relevan bagi dunia keagamaan, tetapi juga bagi kepemimpinan birokrasi modern dan pelayanan publik.
Salah satu prinsip fundamental yang beliau tunjukkan sepanjang kepemimpinannya adalah pelayanan penuh kasih (servizio d'amore)--melayani bukan untuk diri sendiri, melainkan demi kebaikan sesama.
Sebuah prinsip yang seharusnya dapat menjadi landasan etis bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Fenomena erosi etika di kalangan pejabat publik, seperti korupsi, nepotisme, dan rendahnya empati terhadap masyarakat, menunjukkan perlunya pendekatan kepemimpinan yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pelayanan (servant leadership).
Di tengah birokrasi yang sering dianggap dingin, lambat, dan tidak peduli, teladan Paus Fransiskus menjadi oase harapan: bahwa pelayanan publik bisa--dan seharusnya--dilakukan dengan kasih.
Artikel ini menganalisis relevansi prinsip pelayanan kasih Paus Fransiskus dalam konteks administrasi publik, dengan pendekatan teoritis dari Servant Leadership (Greenleaf, 1970) dan New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2000).
Pelayanan dalam Kasih dan Prinsip Servant Leadership
Paus Fransiskus hidup dalam simbol-simbol kerendahan hati. Ia tinggal di apartemen kecil, mencuci kaki narapidana, mendekap orang miskin dan korban kekerasan, bahkan sejak diangkat sebagai Paus ke-266 pada 2013, ia menolak segala bentuk upah dari Gereja dan memilih untuk menyumbangkannya untuk umat.
Diketahui bahwa gaji untuk posisi tersebut adalah USD32.000 per bulan atau sekitar Rp537,83 juta (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.807) (Wikipedia, 2025).
Ini bukan sekadar simbolisme agama, tapi praktik servant leadership--kepemimpinan yang lahir dari semangat melayani, bukan menguasai.