Pernahkah kita membayangkan bagaimana algoritma yang bekerja di balik layer--entah dalam rekomendasi video YouTube, sistem rekrutmen online, atau layanan kesehatan digital--bisa mempengaruhi hidup kita secara nyata?
Itulah kecerdasan buatan, atau artificial intelligence (AI), yang kini tidak hanya menjadi urusan teknisi atau programmer, tetapi juga urusan negara, etika, dan masa depan masyarakat. Termasuk, Indonesia.
Saat ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang merancang kerangka tata kelola kecerdasan buatan berbasis prinsip 3P (policy, people, platform).
Meski konsep ini menjanjikan pendekatan holistik dan terdengar progresif, implementasinya perlu dikritisi bersama agar regulasi yang disusun tersebut tidak hanya baik di atas kertas saja, namun memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi generasi mendatang.
Penulis berangkat dari pertanyaan mendasar: apakah kerangka 3P ini cukup untuk mengantisipasi risiko etis, bias algoritmik, dan monopoli teknologi?
Untuk menjawabnya, kita perlu menengok sebentar untuk melihat praktik tata kelola AI di Eropa dan Skandinavia--dua wilayah yang telah mengembangkan pendekatan progresif sekaligus protektif terhadap AI.
Dengan meminjam perspektif multi-stakeholder governance (Buhmann et al., 2020) dan ethical AI frameworks (Floridi et al., 2018), artikel ini akan mengkritisi arah regulasi AI di Indonesia sekaligus menawarkan pembelajaran dari luar.
Kebijakan (Policy): Menjembatani Regulasi vs Inovasi
Kerangka policy Indonesia mengadopsi pendekatan ganda: horizontal (prinsip etika lintas sektor) dan vertikal (regulasi spesifik sektor seperti kesehatan dan pertambangan).
Nezar Patria, Wamenkomdigi, menekankan pentingnya menghindari regulasi yang terlalu ketat agar tidak mengekang inovasi.