Kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen RI) untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan di SMA--dengan pembagian klasik IPA, IPS, dan Bahasa--menimbulkan pro-kontra di kalangan pendidik, siswa, dan pemerhati pendidikan.
Di satu sisi, penjurusan dianggap dapat memfokuskan pembelajaran sesuai minat siswa.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi mengabaikan fleksibilitas dan kebutuhan abad ke-21, di mana kompetensi lintas disiplin semakin dibutuhkan.
Artikel ini menganalisis dampak kebijakan tersebut melalui pendekatan teoritis dan temuan empiris dari penelitian-penelitian lainnya.
Penjurusan vs. Kebutuhan Pendidikan Kontemporer
Sistem penjurusan konvensional berakar pada paradigma pendidikan yang bersifat fixed-track, di mana siswa diarahkan untuk mengkhususkan diri sejak dini.
Namun, teori Multiple Intelligences (Gardner, 1983) dan pendekatan interdisciplinary learning (Klein, 2010) menegaskan bahwa pembatasan rigid pada satu bidang justru dapat menghambat pengembangan potensi multidimensi siswa.Â
Penelitian Pratiwi (2019) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menemukan bahwa 42% siswa SMA merasa terbatasi oleh sistem penjurusan, terutama mereka yang memiliki minat di lebih dari satu bidang.
Misalnya, siswa yang tertarik pada Biologi sekaligus Ekonomi terpaksa memilih salah satu, meskipun keduanya relevan untuk karir di bidang environmental economics atau health policy.Â
Dampak pada Siswa Lintas Minat