Waktu bergerak secara tidak biasa. Ganjil. Tanpa isyarat. Ramadan kali ini terasa berbeda.
Udara sejuk menjelang maghrib menyapu pelataran rumah kami, tapi ada satu ruang kosong yang tak tergantikan: Bagas, anak pertama kami, tak ada di sini.
Ia memilih menuntut ilmu di pondok pesantren, jauh dari pelukan hangat ibunya, jauh dari tawa adik-adiknya yang selalu ia rindukan.
***
Sekelebat ingatan kemudian menarik ku kembali ke belakang. Aku mengingat anak pertama, Bagas.
Rasanya baru kemarin, Ibu mu menangis dari balik pintu persalinan. Hidup dan kematian setipis baja lempengan. Sementara Ayah mu meratapi kebahagiaan dengan suara adzan yang dieja perlahan dekat di telingamu.
Rasanya baru kemarin, kau merengek di malam buta. Demam tinggi tak terkendali. Esoknya kau sudah melompat kegirangan melipat perahu kertas untuk kemudian dihanyutkan ke dalam selokan.
Rasanya baru kemarin, kau adalah peniru terbaik di jagadnya dunia kanak-kanak. Dan kini kau menjelma sebagai pemberontak kecil tersayang.
Bising protesmu di ujung seluler untuk tidak sepakat pada satu pendapat. Kelak kau adalah pemberontak atas kanun kehidupan. Pelindung Dewi Themis Yang Agung.
Seribu satu kisah tentang dirimu bisa aku ceritakan berhari-hari tanpa kehilangan semangat.