Penolakan terhadap revisi UU TNI semakin meluas, setidaknya di kubu ini ada KontraS, YLBHI, Imparsial, Transparency International Indonesia, dan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa.
Terbaru adalah Aksi demonstrasi sivitas akademika UGM pada 18 Maret 2025 menolak revisi UU TNI yang bukan sekadar respons spontan, melainkan alarm kritis atas ancaman sistematis terhadap demokrasi Indonesia.
Revisi ini--yang memperluas jabatan sipil untuk prajurit aktif dari 10 menjadi 15 posisi--berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi militer, warisan Orde Baru yang semestinya telah terkubur pasca-Reformasi 1998.
Dwifungsi Militer di Era Orde Baru
Konsep Dwifungsi militer, dulu bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang diterapkan selama era Soeharto merupakan salah satu pilar utama dalam sistem politik Orde Baru.
Konsep ini menegaskan bahwa ABRI tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan pertahanan negara, tetapi juga sebagai kekuatan sosial dan politik yang aktif dalam mengatur jalannya pemerintahan.
Dalam konteks ini, ABRI dilihat memiliki dua peran: sebagai militer dan sebagai penguasa dalam struktur pemerintahan.
Dwifungsi ABRI mulai diresmikan melalui UU Nomor 20 Tahun 1982Â tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, yang memberikan legitimasi bagi keterlibatan militer dalam aspek-aspek non-militer, seperti politik, ekonomi, dan sosial.
Konsep ini diusulkan oleh A.H. Nasution dan bertujuan untuk menciptakan stabilitas nasional di tengah ketidakpastian politik pasca-Soekarno.
Pada masa itu, Soeharto berargumen bahwa keterlibatan militer diperlukan untuk mengatasi kelemahan politisi sipil yang dianggap tidak mampu menjaga stabilitas negara.