Konsep koperasi yang berbasis pada prinsip-prinsip solidaritas, demokrasi ekonomi, dan partisipasi anggota adalah salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia.
Koperasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 yang kemudian dirubah menjadi UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi rakyat.
Namun, di tengah upaya pemerintah yang dipimpin oleh Prabowo Subianto untuk membentuk Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, muncul pertanyaan mendalam:
Apakah pendekatan top-down yang diusung dalam rencana ini benar-benar dapat mencapai tujuan tersebut atau justru menambah ketergantungan terhadap pemerintah.
Potensi Positif dan Ambisi Besar
Rencana Presiden Prabowo Subianto membentuk 70.000 Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih di seluruh Indonesia patut diapresiasi sebagai upaya strategis untuk memperkuat ekonomi desa.
Program ini menargetkan pembangunan koperasi di setiap desa dengan alokasi dana Rp5 miliar per unit untuk keperluan seperti gudang pangan, klinik desa, dan logistik, serta memotong rantai tengkulak yang selama ini memberatkan petani.
Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri, menegaskan bahwa Kopdes Merah Putih dirancang untuk meningkatkan ketahanan pangan, stabilisasi harga, dan penguatan distribusi hasil pertanian.
Skala proyek ini--dengan anggaran mencapai Rp350 triliun--menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pedesaan, terutama mengingat 44 persen penduduk Indonesia masih tinggal di desa.
Namun, ide ini, meski sangat baik dalam teori, membawa tantangan besar dalam hal pelaksanaan dan dampaknya terhadap independensi koperasi.