Keputusan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, untuk menolak permohonan praperadilan dari Hasto Kristiyanto, menandai langkah penting dalam kasus dugaan suap yang melibatkan nama besar dalam politik Indonesia.
Berdasarkan keputusan itu, Hasto yang saat ini masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tetap berstatus tersangka.
Sejak awal, kasus ini penuh dengan drama dan membuka diskusi lebih luas mengenai integritas sistem hukum dan penegakan anti-korupsi di negara ini.
Latar Belakang Kasus
Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2024, terkait dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku, mantan caleg PDIP yang sudah menjadi buron selama bertahun-tahun.Â
Hasto diduga terlibat dalam merintangi penyidikan kasus tersebut serta menyuap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, untuk memuluskan langkah Harun Masiku menjadi anggota DPR.
Permohonan praperadilan yang diajukan Hasto bertujuan untuk menggugurkan status tersangkanya.Â
Namun, hakim menilai bahwa permohonan tersebut "kabur atau tidak jelas," dan menyatakan bahwa Hasto seharusnya mengajukan dua permohonan terpisah untuk dua surat perintah penyidikan yang mendasari penetapan status tersangkanya.
Analisis Hukum
Penolakan ini mencerminkan ketidakpuasan hakim terhadap cara penyampaian permohonan praperadilan oleh Hasto.Â