Kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 yang melibatkan Harvey Moeis, suami dari artis Sandra Dewi, telah mencapai babak baru dengan putusan banding yang signifikan.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Moeis menjadi 20 tahun penjara, sebuah vonis yang kontras dengan putusan awal 6,5 tahun dari Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Apresiasi setinggi-tingginya tentu kita lambungkan atas keputusan tersebut. Namun, apakah keputusan ini sudah mencerminkan arah konsistensi sistem peradilan Indonesia? Bagaimana dengan terdakwa lainnya?
Dalam artikel ini, saya akan mendiskusikan sejauh mana konsistensi penerapan prinsip-prinsip hukum yang berlaku serta implikasi hukumnya terhadap sistem peradilan Indonesia.
Fakta Kasus dan Pertimbangan Hukum
Kasus ini menjadi penting karena melibatkan pelanggaran serius terhadap regulasi yang mengatur sumber daya alam, serta dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan.
Tindak pidana yang dituduhkan adalah ekspor timah yang tidak sah, yang menurut pasal 158 UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, dapat dikenakan hukuman yang berat mengingat potensi kerugian yang timbul bagi negara.
Dalam mempertimbangkan vonis hukuman, hakim berpedoman pada beberapa prinsip dasar hukum pidana, antara lain asas lex specialis derogat legi generali (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum).
Meskipun terdakwa dapat membela diri dengan alasan ketidaktahuan, hakim menilai bahwa perbuatan yang dilakukan memiliki dampak jangka panjang terhadap ekonomi negara dan pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Beberapa pertimbangan kunci yang mendasari putusan ini antara lain: