Mohon tunggu...
Rahadi Umar
Rahadi Umar Mohon Tunggu... profesional -

nonpartisan = freelancer |\r\n\r\nrakyat biasa yang [masih] menikmati jalan-jalan ke pasar loak | meminati pengetahuan dunia otomotif | menyukai sharing yang mencerahkan dan mencerdaskan | gemar catur meski sering kalah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akankah Segera Terjadi Perang Survey Politik?

23 Oktober 2013   06:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:09 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1382970214576557113

Di era dunia maya, hasil survey belum tentu berdampak positif. Bisa jadi interpretasi hasil survey yang penuh bunga justru menuai badai menyakitkan, terutama cyberbullying,  yang mampu meruntuhkan citra figur  terusung dalam sekejap. [caption id="attachment_297719" align="aligncenter" width="300" caption="workingfromhomeideas.co.uk"][/caption] Sesungguhnya saya tidak suka politik (baik sisi politist maupun politics). Jujur ini bukan minat saya. Tulisan ini  hanya menyentuh apa yang muncul ke permukaan dan menjadi konsumsi masyarakat luas. Semula diniatkan sebagai komen di satu tulisan rekan kompasianer. Tapi karena terlalu  panjang, maka saya putuskan menempatkannya sebagai tulisan tersendiri. Sebaiknya jangan terlalu serius baca tulisan ini. Tulisan ini terinspirasi sebuah artikel yang hampir seluruh bahannya merupakan rilis Boni Hargens terkait  hasil  survey LSI Denny JA. Publisitas hasil survey ini memang mendapat beragam tanggapan, umumnya sinis. Rilis Boni Hargens dikirimnya ke sejumlah media mainstream dan diberi judul:  Pengamat Ramai-ramai Kritik LSI, Dinilai Bekerja untuk Golkar. Melihat reputasinya sebagai pengamat politik aktif dan sering tampil di berbagai media, saya merasa cukup aneh kalau Boni mempermasalahkan hasil survey LSI Denny SA. Apalagi sampai meminta Denny untuk membuka kepada publik perihal keberpihakan dan posisi politik lembaganya. Pendiri LPI (lembaga pemilihan Indonesia)  ini sesungguhnya paham betul, bahwa kegiatan survei sudah mengarah ke industri. Sebagai industri, selain harus membiayai semua kegiatannya juga harus mencari kelebihan (profit). Agar ada dana masuk,  berarti  dituntut bekerja  professional, setidaknya di mata klien. Toh untuk ‘tujuan mulia’ banyak dana yang siap dihamburkan. Boni juga tahu persis bahwa memang kerap terjadi hasil berbeda antarlembaga survey. Dalam dua tahun terakhir ini setidaknya tercatat lima lembaga  tergolong menonjol dan kerap melakukan survey politik secara reguler, yaitu CSIS, LSN, LSI, LSI Denny, dan SSS. Di luar itu masih ada beberapa perguruan tinggi dan lainnya. Menurut saya,  boleh-boleh saja jika ada pihak yang menilai  hasil survei tidak obyektif (subyektif) atau tendensius, terutama oleh pihak berseberangan. Pandangi saja tanpa perlu berkerut kening. Lagi pula toh kecenderungan  yang disimpulkan dari survey hanya mencerminkan pandangan publik pada hari survei diadakan. Elektabilitas tinggi hari ini belum tentu untuk esok hari. Maka tiada lain, semangat tulisan (rilis Boni) sejatinya adalah urusan Nasdem yang merasa dihajar Golkar melalui LSI Denny JA.  Menurutnya, absennya figur Jokowi dan Prabowo dalam survey LSI akan memunculkan kecenderungan pemilih beralih ke figur Mega dan ARB. Dengan begitu berarti PDIP tidak mendukung Jokowi sebagai capres. Sekedar catatan saya, capresisasi Jokowi oleh lembaga survey pertama dilakukan oleh CSIS (April 2013). Ia menempati posisi pertama (28,6%), berikutnya Prabowo (15,6%), lalu ARB (7,0%), dan  Mega (5,4%), JK (3,7%). Di dua survey berikut (Mei 2013) yang digelar LSN dan SSS tidak ada nama Jokowi. Sedangkan Prabowo, dari  10 survey yang  dilakukan lima lembaga survey senantiasa berada di tiga besar, malah menempati posisi puncak di lima survey. Adapun Surya Paloh muncul di survey SSS (Juni 2012 dan Mei 2013).  Di dua survey itu tokoh Nasdem berada di posisi 5. Bukankah LSI sudah menetapkan kriteria dan terpampang nyata? Adalah sah-sah saja lembaga survey menetapkan aturan main tertentu yang disesuaikan dengan konteksnya (tujuan) sejauh teori dan metodologinya dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Boni, Nasdem berhasil menjadi primadona di antara partai-partai baru yang muncul setelah 2009. Sebagai bekas faksi internal Golkar, Nasdem menjadi ancaman serius bagi Golkar. Maka Boni memaknai Survei LSI yang praktis hanya menempatkan 3 capres sebagai upaya LSI  menggiring opini publik bahwa hanya ada tiga capres  di 2014 nanti. Mencermati  rilisnya,  Boni Hargens yang sejatinya tidak terlalu suka JokoWi (apalagi jika  nyapres) sepertinya  memang tengah berada di pihak Nasdem. Boni juga hapal menyebut jumlah anggota terdaftar Nasdem yang katanya sudah 13 juta orang. Fantastis. Ya sudah, perjelas saja Denny JA di belakang Golkar sementara Boni Hargens di belakang Nasdem. Mungkin bisa berarti LSI versus LPI, ARB versus Surya Paloh. Sebelum ada UU yang melarang, buatlah survey-survey tandingan. Partai lain bisa merilis  hasil survey tim sukses masing-masing.  Jadilah jagat potitik Indonesia semarak perang survey, tidak terkecuali survey bodong suka hati.  Apa pun itu, wartawan media mainsteem senantiasa melahapnya. Kalaulah ada yang merasa terpojok oleh satu hasil survey lawan, balas dengan hasil survey sendiri. Tidak perlu mencak-mencak dan saling mengaduk-aduk rahasia dapur orang. Tapi hati-hatilah. Di era dunia maya, publisitas interpretasi  hasil survey yang berbunga-bunga belum tentu berdampak positif.  Bisa juga feedback yang diperoleh justru cyberbullying yang dapat  meruntuhkan citra figure dalam sekejap. Tidak perlu sampai berkerut kening. Politik? Pandai-pandai saja lihat sisi humornya. Salam, Salaman. (Dua Periode Untuk Jakarta Baru )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun