Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertahun-tahun Melawan Tuberculosis, Merengkuh Tangan Orang-orang Sepenanggungan

12 Mei 2017   02:11 Diperbarui: 17 Mei 2017   22:56 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatihan PMO di RS Jakarta Timur. (Dok Yulinda)

“Saya tinggalkan semua.  Saya tak mau menulari orang tua dan orang-orang sekitar,” katanya.

Lalu apa yang dirasakannya saat di rumah sakit di Jakarta?

Shock! Itu yang dirasakan Yuli. Bagaimana tidak, melihat setiap pasien yang sepenanggungan denganyya, minum obat  dengan jumlah sedemikian banyak. Antara 13 - 20 butir obat. Sekaligus menjalani obat suntik selama 6 bulan. Setiap hari, kecuali Sabtu minggu libur suntik. Dirinya pun harus mengkomsumsi obat 13 macam obat setiap harinya! Dan itu harus dijalaninya selama 2 tahun. Tak terbayang di benaknya.

Stigma Negatif, Ditolak Ibu Kost

Masalah belum berhenti. Tinggal di Jakarta untuk menjalani pengobatan 2 tahun, mengharuskannya untuk punya tempat tinggal. Di satu sisi butuh biaya untuk transportasi dan hidup. Pekerjaan tak punya, biaya hidup ditanggung sendiri.  Beruntung kemudian ada bantuan dari Global Fund yang sedikit banyak bisa menutupi biaya keseharian.

Tak punya saudara di Jakarta, membuat Yuli harus kost. Mencari kost ternyata bukan hal yang mudah, seiring dengan penyakitnya.

“Ibu kost menolak, diusir, karena tau saya kost karena berobat.  Uang dikembalikan padahal baru sehari,” tuturnya, yang membuatnya esok harinya karena shock, TB belum diobati, batuk keluar bercak darah.

Beruntung ada kost yang menerima, saat Yuli terpaksa mengaku bekerja, dan merahasiakan misi pengobatannya. Selama setahun disamping setiap hari datang ke RS Persahabatan untuk menunaikan ‘ritualnya’ minum obat, Yuli juga membantu suster. Dari sekadar menyediakan  kapas, membopong pasien dari bajaj dan lain-lain. Ia senang melakukannya bersama pasien lainnya yang mengidap penyakit sama, TB.

Yuli (depan) saat pelatihan pendidik sebaya / peer edukater utk kenaggotaan PETA di RS persahabatan Maret 2017. (Dok Yulinda)
Yuli (depan) saat pelatihan pendidik sebaya / peer edukater utk kenaggotaan PETA di RS persahabatan Maret 2017. (Dok Yulinda)
Bangkit dan Pejuang Tangguh

Kesibukkannya selain menjalani pengobatan itu, membersitkan semangat baru. Semangat hidup untuk bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana Yuli turut merasakan derita orang-orang yang mengidap TB, menjalani pengobatan yang cukup lama. Inspirasi pun muncul dalam benak dirinya dan 10 rekan-rekan pasien TB.

“Ya Allah,  kalau saya sembuh, selain ibadah, saya mau tolongin orang-orang seperti ini,” inspirasi Yuli saat membantu orang-orang penderita TB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun