Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Traveler Madyanger Fiksianer #MuseumLover

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger #MuseumLover email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gagak Hitam

22 Februari 2014   04:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

PARA pelayat sudah kembali pulang. Lastri masih bersimpuh disamping pusara. Tanahnya masih baru, selepas menimbun jasad ayahnya. Ayah yang menyusul Ibunya dibawah sana. Dibalik kacamata hitamnya airmata sudah mengering. Namun kesedihan teramat dalam masih ada disana. Dia sendirian sekarang.

“Ayo kita pulang,” sebuah suara menyadarkannya. Suara Kristanto kekasihnya.

***

Rumah Orangtua Lastri

Tak banyak barang yang perlu dikemasnya. Hanya beberapa setel baju saat menemani ayahnya di hari-hari terakhirnya. Lastri akan meninggalkan rumah orang tuanya seiring ayahnya telah tiada karena sakit yang semain parah. Rumah itu sudah dikuasai Ibu tirinya. Ibu yang dinikahi ayahnya setahun lalu. Meski dia menentangnya. Namun demi ayahnya, keluarga satu-satunya yang dimilikinya, ia pun mengijinkan ayahnya menikahi perempuan itu. Marlina. Teman kuliahnya.

“Jadi kau pergi?”

Lastri hanya diam. Tak menjawab pertanyaan Marlina. Ia bergegas ke mobil. Kristanto sudah menunggu disana. Dialah milik satu-satunya sekarang. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindung pengganti ayah dan ibunya yang tiada. Satu hal yang harus dilakukannya adalah menyingkir dari kehidupan wanita itu.

***

Apartemen Lastri.

“Mau kubikinkan kopi?”

“Nggak usah Sayang. Terima kasih.”

Lastri menaruh kepalanya pada paha Kristanto yang duduk di sofa. Ia menjejalkan kepalanya diantara lengan lelaki yang dicintainya itu. Kristanto adalah lelaki satu-satunya sandaran hidupnya kini. Lelaki yang dicintai sejak semasa kuliah di Jogjakarta dulu. Lelaki yang pintar dan aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan. Lelaki yang dulu menjadi primadona di kampus. Digila-gilai para mahasiswi hingga di luar kampus. Beruntung, Kristanto memilihnya.

“Bulan depan, kita jadi pindah rumah ya Mas, Aku sudah dapat ijin pindah kerja di kantor cabang perusahaan di Surabaya.”

“Sayang, kamu masih ingin meninggalkan kota ini. Kamu masih mengkhawatirkan aku? Kamu tak percaya padaku? Aku mencintaimu Sayang. Aku tak mungkin tergoda wanita lain. Termasuk….  “

“Ya Mas, kita pergi dari kota ini.

“Tapi, sayang. Aku… ”

Lastri menempelkan telunjuknya di bibir lelaki itu. “Ya Mas…  kita harus pergi.”

***

Dua hari berselang.

“Apa!!” dada Lastri terasa sesak. Suara di seberang telepon sana terdengar sayup tertawa. Ditutupnya telepon. Tas kecil dan kunci mobil di meja secepat kilat disambarnya. Lalu berlari keluar dengan terburu buru. Sekian lama kemudian, sebuah mobil sedan warna hitam itu meluncur deras. Sederas airmata yang hampir tumpah dari sudut mata Lastri.

***

“Brak!!”

Pintu kamar itu terbuka dengan keras. Dua anak manusia tergolek di ranjang. Perempuan dan laki-laki. Sang perempuan tersenyum sinis. Seakan mengejek Lastri. Sementara lelaki itu tertidur pulas. Pulas seperti bayi. Ooo tidak. Dia mabuk berat. Kristanto!

“Biadab, apa yang kamu lakukan!” teriaknya pada perempuan itu.

“Hahahaaaa… berani datang juga kau, kirain tadi kutelpon kamu gak punya nyali untuk kesini,” kata perempuan itu terbahak-bahak, merasa menang telah membuat Lastri kebakaran jenggot. Momen yang nampaknya sudah ditunggunya bertahun-tahun.

“Tenang saja Lastri, Aku belum sentuh dia. Dia lebih suka ini,” sahut perempuan itu sambil melemparkan tabung kecil berisi butiran-butiran. Pil inex! Hati Lastri hancur, bahkan Kristanto tak jujur padanya. Dia telah mengingkari janjinya meninggalkan barang haram itu selepas kuliah. Ternyata. Lastri menghembuskan nafas dengan berat. Kenyataan yang di depan matanya seakan telah menghancurkan segala impiannya. Tangannya terkepal, berusaha menguasai kendali dirinya.

“Sampai kapan kamu akan mengganggu hidupku! Apa maumu?”

“Mauku? Hahaaaa…. Mauku, menghancurkan hidupmu. Lastri, aku bukan orang bodoh yang akan melupakan pedih dan sakit hati yang kau buat. Kau renggut Kristanto dari hidupku. Dia campakkan aku begitu saja. Aku sendirian. Aku dendam padamu Lastri! Kau rusak hatiku, kau rusak masa depanku, hingga aku terkubur dalam dendam puluhan tahun. Hingga aku hidup bernaung dalam impian inex. Hingga aku jadi perempuan….” Dia tercekat, menangis parau. Tak lama kemudian tertawa.

“Tapi aku puas. Aku puas. Aku membuatmu sebatangkara. Aku puas membuatmu sengsara. Ayahmu kunikahi dan membuatnya makan nasi beracun setiap hari. Hingga tubuhnya lemah, sakit tak terobati dan…. mati.”

“Oooh jadii… jadiii,” Lastri merasakan tenggorokannya kering. Kepalanya berat seperti dipalu godam. Ia geram pada perempuan gila itu. Marlina!

“Dan Kristanto, yang kau rebut dariku, telah aku buat mengecewakanmu. Dia tak bisa menjadi pendamping masa depanmu. Sekarang tinggal aku dan kamu.”

Marlina mendekati Lastri. Perempuan itu semakin dekat. Sosoknya sudah berubah dirasakan Lastri. Secepat kilat, Marlina menangkap kedua tangan Lastri. Matanya merah. Nafasnya tak beraturan, mendengus-dengus penuh …. Oh bukan, bukan amarah. Itu bukan amarah tapi…. gairah.

Lastri spontan berontak. Diantara kegeramannya terselip ketakutan. Entah tenaga darimana datangnya, ia kibaskan tangannya dan berhasil, ia berhasil melepaskan cengkeraman tangan Marlina yang kokoh bak … tangan lelaki!!

Dia berlari, meninggalkan rumah masa kecilnya itu. Tanpa menghiraukan lagi, bahkan pada Kristanto yang masih tergolek disana. Lelaki yang mengecewakannya. Hanya satu keinginannya, melepaskan diri dari nafsu gelap Marlina. Nafsu gila yang akan memangsa.

Teriang di kepalanya, “Gila. Saking dendamnya pada lelaki, Marlina jadi …”

***

Keesokan harinya.

Hari masih pagi. Matahari belumlah tinggi. Sepasang tangan bergerak lambat terulur. Mencabut rumput-rumput liar di pusara itu. Meski wajahnya terlihat ekspresi lelah, namun tiada nampak kesedihan disana. Matanya memandang lekat gundukan tanah bernisan itu.

“Ayah Ibu, aku pamit. Maafkan, sementara ini aku akan jarang menengok ayah dan ibu. Aku akan berdoa selalu untukmu. Suatu saat aku akan kembali.”

Lastri sedikit tersentak. Bunyi suara ponselnya terdengar dari dalam tas. Ia mengambilnya, dan melihat panggilan dari nomor yang tak dikenalnya. Ditekannya tombol hijau.

“Halo, Apakah benar ini dengan Ibu Lastri?”

“Ya benar?”

“Halo, kami dari kepolisian, ingin bertemu meminta keterangan Ibu Lastri. Atas laporan tetangga, kami menemukan dua orang dalam kondisi tidak sadar dan ditemukan inex di rumah Ibu Lastri tadi pagi. Apakah… ”

Lastri bangkit. Dipencetnya tombol merah di ponselnya. Sesaat ia memandang makam kedua orangtuanya yang berdampingan itu. Lalu ia berjalan pelan diantara rindang pohon kamboja. Bertekad melupakan kepahitan hidupnya, menanggalkan sisa-sisa luka di hatinya. Membuang jauh kenangan kelabu. Sementara suara sepasang gagak hitam terdengar lantang di atas sana. Menyanyikan lagu perang yang dibawa oleh hati manusia yang lupa.

***

rindu dendam angkara cinta benci limbah jelaga menyelimuti hati anak manusia akal dan hati diantara pilihan selalu ada buka mata hati di lubuk sana, buka mata bijak kita

dengarkan nurani bicara untuk menuntun langkahmu di jalanNya pada jalur pelangi bianglala meniti dan menjelma laksana indah kebajikan dewa dewi di taman swargaloka

***

Jakarta – 21 Februari 2014

Ganendra

Sumber Gambar Ilustrasi

Baca juga= Bocah Kencur - Dawai Asmara Bersahaja

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun