Mohon tunggu...
M. Rafly Sulthan
M. Rafly Sulthan Mohon Tunggu... Aktor - SEJARAH DAN POLITIK ISLAM

Menebar mimpi dalam luas imajinasi Menanam pikiran dikaki bumi, Mendekap rasa pada hening sanubari, Sekali berarti sesudah itu mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bireuen Kota Perjuangan

7 Agustus 2019   18:58 Diperbarui: 7 Agustus 2019   20:15 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"BIREUEN KOTA Perjuangan "-- Menurut Husin Yusuf sebagaimana dicatat Alfian (1982), berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI pertama sekali diketahui di Bireuen pada 19 Agustus 1945, sedangkan di Kutaraja, berita kemerdekaan RI baru diketahui pada 21 Agustus 1945. Pada akhir bulan Agustus 1945, sebagaimana diungkapkan oleh Ramadhan dan Hamid Jabbar (1995), bahwa di Juli lahir satu pasukan khusus yang berbentuk kavaleri.

Pasukan tersebut dipimpin oleh Ishak Ibrahim dan Teuku Mahmud dengan 500 pasukan. Pasukan yang diberi nama Barisan Siap Sedia ini mempunyai persenjataan berupa 6 pucuk meriam besar dan kecil, 100 ekor kuda, senjata ringan dan 3 buah Bren Carrier. Dalam catatan Talsya (1990b), disebutkan bahwa pembentukan pasukan tersebut berlangsung pada 31 Agustus 1946.

Pada 12 Oktober 1945, di Kota Bireuen berlangsung rapat khusus dengan orang-orang suku Ambon, Manado dan Jawa bekas interniran dengan tujuan memberikan penjelasan tentang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (A. Hasyimi, 1985). Sejak tanggal 7 Januari 1947 di Bireuen berlangsung konferensi Pemimpin Divisi Gajah I, Divisi Gajah II, Resimen Lasykar Rakyat Medan Area (RLRMA) dan lasykar-lasykar rakyat Aceh lainnya. 

Dalam konferensi tersebut diputuskan untuk membentuk Komando Medan Area (KMA) yang dipimpin oleh perwiran tentara RI. Kemudian RLRMA dibubarkan dan menyerahkan pimpinan pertempuran Medan Area kepada KMA.

Selanjutnya KMA tersebut bertugas melaksanakan instruksi-instruksi dari Komandemen Sumatera, yaitu merebut kembali tempat-tempat yang diduduki oleh Belanda di Medan Area (Talsya, 1990a).

Pada tahun 1947, Divisi Gajah I digabung bersama Divisi Gajah II menjadi TRI Divisi X Sumatera dan pada Agresi Militer Belanda I bermarkas di Bireuen, sebagai panglima dan kepala stafnya adalah Kolonel Husin Yusuf dan Kolonel Sitompul (Gade Ismail, 1993). Menurut Zamzami (1990), dipilihnya kota Bireuen sebagai markas Divisi sangat tepat, mengingat kota Bireuen cukup terawatt, bersih dan penduduknya juga hiterogen. Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, Bireuen merupakan pusat berkumpulnya pemimpin divisi dan resimen-resimen.

Letak kota Bireuen sangat strategis untuk mengatur taktik perlawanan terhadap Belanda. Bireuen kala itu adalah kota pangkalan tempat mengatur siasat pertempuran, baik pertempuran di Aceh maupun pertempuran di Medan Area. Tidak hanya itu, di Bireuen juga didirikan Komando Militer Akademi Bireuen (KMA-Bireuen) sebagai lembaga pendidikan bagi calon perwira dan bintara TRI dalam rangka mendobrak tentara Belanda di Medan Area. 

Dengan tujuan untuk mengimbangi ofensif Belanda dalam penyiaran berita-berita lewat udara, di Bireuen, tepatnya di Krueng Simpo juga dipasang pemancar radio yang dikelola langsung oleh Bagian Penerangan Divisi X TRI Komandemen Sumatera. Radio tersebut, selain memancarkan siaran berbahasa Indonesia, juga menggunakan bahasa asing, seperti Inggris, India, Arab, Cina, Belanda dan Urdu. 

Ketika Ibu Kota RI diduduki oleh Belanda dan RRI Yogyakarta tidak berfungsi, pihak luar negeri masih bisa mendengarkan siaran dan memantau hasil-hasil pertempuran pejuang RI melalui Radio Rimba Raya (Zamzami, 1990: 352). Peranan Radio Perjuangan Rimba Raya yang strategis ini pula telah berhasil mengcounter suara Radio Batavia di Betawi, Radio Belanda di Medan dan Hilversum di negeri Belanda yang telah menafikan perjuangan rakyat Indonesia dengan menuduh Indonesia telah koma (A.K. Jakobi, 1992).

Pada November 1945, Persatuan Kaum Ibu Bireuen menyelenggarakan rapat umum di gedung Bioskop Bireuen yang dihadiri oleh 5000 wanita. Dalam acara tersebut dibentangkan tentang sejarah pergerakan kaum ibu di Indonesia sampai tercapai Indonesia merdeka. 

Talsya juga mencatat kejadian unik yang terjadi di Bireuen saat itu, di mana seorang wanita mendatangi kantor PRI (Pemuda Republik Indonesia) di Bireuen dan meminta diberi kesempatan bergabung bersama pasukan pria untuk bertempur dengan Jepang. Wanita itu membawa parang dan sebuah lembing serta sebuah rencong yang terselip di pinggangnya (Talsya, 1990b: 126). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun