Mohon tunggu...
Rafly Febriansyah
Rafly Febriansyah Mohon Tunggu... Security - Scavenger Poem

Ada yang harus aku tuju, kemudian aku buat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum Perempuan di Bangku Taman

12 September 2019   12:36 Diperbarui: 12 September 2019   12:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di ruang taman tanpa dinding atap teduh, yang ramai akan perbincangan orang-orang, dan matahari sudah tidak tegak menyorot pohon yang tumbuh ditengah taman dengan memberi beberapa carang cahaya. Aku melihatnya tersenyum sembari berhujah- diriku turut dihadapkan dengan pertanyaan: sedalam apakah Tuhan memberikan kebahagian untuknya, dan ke-elokan macam apakah yang pada saat berhujah ia masih merekahkan senyum yang sama?

Ia masih duduk dengan gaya manisnya dan sepertinya itu adalah sesuatu yang alami, tidak dibuat-buat. Matanya seolah-olah menghipnotis teman-teman seduduknya ataupun orang yang ada disekitarnya, termasuk aku. Teman-temannya sangat fokus dihadapan perumpuan itu, dan aku tidak menghiraukan apa yang difokuskan oleh teman-temannya. Dan aku yakin dari empat temannya, ada salah satu dari mereka yang baik dengan memperhatikan hujahnya- karena ia adalah seorang perempuan juga.

Sepertinya ia sangat bahagia, dari awal aku memperhatikannya. Aku tidak pernah melihat senyumnya jatuh ataupun terenggut orang lain. Bibirnya selalu bergaya dengan apik ketika kalimat dilantunkan untuk mengiringi senyumnya. Pipinya tidak terpaksa untuk berayun-ayun di bawah matanya, dan tidak lepas dari gerakan bibirnya- seolah bercermin, setiap tersenyum pipinya turut bergerak mengikuti gerak bibirnya. Aku merasa ada banyak senyuman manis yang tertanam dan berbuah kelembutan di dalam wajahnya.

Sekejap perbincangan usai, tanpa diberi rambu-rambu perempuan itu telah memberhentikan hujahnya. Ia berdiri, kemudian bersalaman dengan teman-temannya. Dalam benak ghoibku berkata- sungguh beruntung ketiga teman dari empat temannya itu, mendapatkan sehelai tapak dan jari-jari lembut saling mengait untuk melepas giat. Kemudian ia berjalan dengan satu teman perempuannya tanpa kendaraan.

Ingin sekali aku mengambil vespa putih yang bersandar di ujung taman, mendekatinya dengan perlahan diam-diam  dibelakangnya, berhujah dengannya (ya walaupun, hujahku tidak semanis hujahnya), lalu mengajaknya untuk duduk manis di jok belakang yang kesehariannya mistis dengan kedudukan perempuan-perempuan ghoib. Untuk kali ini aku sangat ingin menghentikan langkah kakinya dari perjalanan pulangnya, menghiburnya dengan kata-kata kering tentang Tuhan sangat lebih bahagia melihat hambanya yang melepas dahaga dengan senyum manis pelantun bahagia dan tentang betapa sia-sianya orang yang selalu meneteskan air mata hanya untuk menggapai harapan hampa tanpa peduli dan meyakinkan nikmat Tuhan yang diturunkan untuk menuai kebahagiaan dalam kesehariannya. Tapi, kakiku lebih kuat dari niat untuk diam tanpa beranjak menghampirinya. Betapa mungkin ia akan terkejut dengan ketidak maluannya aku mendekatinya dan mengajak duduk dibelakang vespaku untuk pulang berdua. Bagaimanapun juga ludahku tidak dapat aku jilat kembali, tidak juga waktuku yang telah aku lewati tidak bisa aku renggut kembali. Ia pasti akan menemukan orang yang dekat dengannya atau seorang pacarnya atau hal yang lain, yang telah menunggunya di depan pintu gerbang arah pulang. Aku akan berpegang dengan tekadku, bahwa aku hanya seorang penyinggah dari berbagai alur-alur cerita.

***********************

Aku mengenal lebih dulu senyumnya sebelum wajahnya terlihat utuh di hadapan mataku ketika kami sama-sama berada di area parkiran kampus. Aku hendak memarkirkan vespaku, saat itu lahan parkir terlihat sumpek dengan motor-motor bersandar dengan satu tungka berdempetan. Sehingga aku membutuhkan lapak kecil atau menunggu seseorang mengeluarkan motornya dari kegaduhan lahan parkir. Perempuan itu menolongku dengan kesusahanmengeluarkan kendaraannya, aku abaikan vespaku ditengah jalan keluar- membantu perempuan itu lebih dulu untuk mengeluarkan motornya.

Wajah nya terlihat utuh. Aku semakin bungah karena lebih dulu melihat senyumnya dari setengah wajahnya. Aku hampir gugup, tetapi aku memaksakan suaraku lantang melontarkan kalimat awal  untuk mengais sebuah pertolongan.


" Kamu kesusahan untuk mengeluarkan motormu? "


Dengan suara lembut ia menjawab pertanyaan pertamaku. Sungguh aku tidak membayang suarunya lebih manis dari senyumnya.


" Iyah. Kamu siapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun