Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Stigma, Membangun Solidaritas Kemanusiaan

6 April 2020   01:36 Diperbarui: 6 April 2020   02:10 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah mengumumkan dua warga Indonesia tertular coronavirus jenis baru atau Covid-19 mengumumkan pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu dan hingga saat ini jumlah kasus warga terinfeksi Covid-19 terus meningkat hingga tercatat ratusan meninggal dan ada pula yang sembuh.  Namun dibalik catatan itu, bukan berarti tidak ada situasi yang kontradiktif.

Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hingga Minggu 5 April 2020, total jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 2.273 pasien. Dibandingkan dari sebelumnya,  tercatat ada penambahan kasus positif baru sebanyak 181 pasien. Secara keseluruhan pasien positif Covid-19 yang sampai sekarang masih menjalani perawatan sebanyak 1.911 orang. Sedangkan pasien yang berhasil sembuh bertambah menjadi 164 orang. Namun jumlah kematian pasien positif Covid-19 justru masih bertambah, yakni menjadi 198 orang. Mengkaji data ini, untuk angka kesembuhan positif Covid-19 di Indonesia saat ini setara 7,21 persen dari total jumlah kasus positif. Sedangkan untuk case fatality rate (CFR) atau rasio kematian berubah dari sebelumnya menjadi 8,71 persen.

Sejak awal hingga saat ini eskalasi kasus belum menunjukkan penurunan secara signifikan. Melihat kondisi ini, para analisis memperkirakan eskalasi kasus akan terus berlangsung hingga menemui puncaknya pada akhir April atau awal Mei 2020. Salah satu faktor utama adalah momentum mudik lebaran.

Pemerintah telah berupaya memberikan edukasi kepada warga tentang virus jenis baru ini. Berbagai upaya dikerahkan agar informasi sampai ke masyarakat. Namun ada satu fenomena sosial yang menghambat upaya itu, yakni stigma sosial atau asosiasi negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang yang mengalami gejala atau menyandang penyakit tertentu. Mereka diberikan label, stereotip, didiskriminasi, diperlakukan berbeda, dan/atau mengalami pelecehan status karena terasosiasi dengan sebuah penyakit.

Pada umumnya, gejalanya yang mirip flu biasa itu sangat cepat menular hingga  membuat beberapa warga menjadi cemas dan khawatir. Hampir setiap hari warga datang ke pusat pelayanan kesehatan untuk memeriksanakan diri apakah terpapar Covid-`19 atau tidak. Namun manakala ada tetangga diketahui sedang menjalani isolasi mandiri, justru menjadi momok menakutkan. Apalagi diketahui pernah kontak dengan pasien positif Covid-19.

Parahnya fenomena ini terjadi kepada para pasien yang meninggal dunia. Warga di beberapa daerah menolak pemakaman jenazah positif corona. Seperti di Banyumas, Jawa Tengah warga melempar batu agar pemakaman di sekitar desa mereka batal dilaksanakan. Di daerah lain pada Jumat 3 April 2020, warga Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, menolak wilayahnya dijadikan lokasi pemakaman  dengan memasang spanduk berukuran besar bertuliskan, "Kami masyarakat Kec. Jati Agung menolak dengan adanya wilayah Kota Baru Kec. Jati Agung dijadikan untuk pemakaman jenazah corona (Covid- 19). Aksi penolakan warga juga terjadi di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis 2 April 2020. Warga melakukan aksi menutup jalan menuju ke pemakaman Macanda sebagai bentuk penolakan terhadap pemakaman jenazah.

Apapun penyebab seseorang meninggal, tidak ada alasan menolak pemakaman. Apalagi untuk jenazah pasien Covid-19. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto telah menjelaskan jenazah pasien positif corona tak berbahaya. Sebab, sebelum tim medis memakamkan, jenazah telah diurus dengan prosedur yang tepat. Salah satunya, menggunakan APD serta jenazah dibungkus plastic agar virus tidak menular ke petugas pemakaman.

Bahkan prosedur ini juga diterangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI)melalui Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 dan edaran Direktoran Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Adapun poin pentingnya adalah pengurusan jenazah terpapar virus corona harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat.

Dalam kondisi ini, reaksi warga tentu tidak bisa disalahkan, apalagi harus menyalahkan pemerintah. Masalahnya relasi pemerintah -- rakyat tidak terkoneksi dengan baik. Minimnya informasi, tidak konsistennya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, serta gejolak politik nasional membuat warga semakin panik. Parahnya, Menteri Luhut Binsar Panjaitan diisukan membuka keran bagi masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) membuat gejolak protes di mana-mana.  Selain itu, banyak tenaga kesehatan dikabarkan tutup usia karena terinfeksi Covid-19. Menyusul kepala daerah dan pejabat ikut terinfeksi virus ini. Ditambah lagi lamban memenuhi kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan dan warga.

Jika kondisi terus seperti ini, lantas bagaimana membangun koneksi pemerintah-rakyat dengan baik sehingga fenomena stigma negatif tidak lagi terjadi. Pertama, perlu ada gebrakan dengan melibatkan semua sumber daya untuk membangun rasa percaya diri warga. Bahwa Covid-19 bukanlah virus yang mematikan selama penarapan pola hidup bersih dan sehat dilakukan secara massif.

Kedua, seluruh kalangan harus dilibatkan dalam rangka membangun rasa empati terhadap mereka yang terdampak Covid-19. Misalnya meramaikan media sosial dengan narasi motivasi mereka yang terdampak agar segera sembuh. Cara ini memang sederhana, tapi apabila ribuan orang memotivasi satu pasien, tentu efeknya luar biasa. Alangkah lebih baik lagi jika semua warga beramai-ramai melakukannya.

Ketiga, pamerintah harus merangkul para influencer, pemimpin agama, pejabat publik, selebriti, aktivis, kaum milenial dan tokoh masyarakat untuk memperkuat pesan positif demi mengurangi stigma.

Keempat, para jurnalis harus memberikan produk jurnalis yang memotivasi dan membangkitkan rasa percaya diri warga.  Produk jurnalistik yang terlalu fokus seputan peningkatan kasus positif Covid-19 hanya akan memperburuk stigma. Sebagai gantinya, media massa bisa menampilkan produk jurnalistik seputar praktik warga mencegah Covid-19, menginformasi cara membuat desinfektan secara mandiri, edukasi kapan dan dimana warga memeriksakan kesehatan, hingga membuat cerita tentang pasien yang sembuh dari Covid-19. Hal ini penting agar warga tidak terbelenggu dalam kepanikan yang tidak perlu.  

Kelima, komunitas etnis juga penting dilibatkan. Tujuannya agar pesan positif bisa tersampaikan dalam bahasa daerah. Pemikiran ini selaras dengan gagasan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, bahwa sosialisasi pencegahan Covid-19 dalam bahasa daerah lebih mudah dipahami. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih menjaga dan melestarikan bahasa daerah. Pada tahun 2018 tercatat Indoensia memiliki 750 bahasa daerah yang tersebar di 34 provinsi.  Selain itu, penggunaan bahasa daerah juga bisa mudah tersampaikan kepada warga di pedesaan dan plosok.

Saat ini semua pihak harus saling mendukung dalam melawan pandemi Covid-19. Jika semua pihak berjalan sendiri-sendiri, bisa dibayangkan sampai kapan Indonesia sembuh dari pandemi. Mari menggelorakan bersama lawan Corona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun