Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersama Kementerian Kesehatan tengah membahas Peraturan Pemerintah terkait Karantina Wilayah.
Dalam penerapannya, untuk skala kabupaten/kota atau provinsi yang dapat disetujui adalah PSBB. Sedangkan karantina wilayah bisa dilaksanakan dalam cakupan lebih kecil, misalnya setingkat RT, RW, hingga kelurahan. K
ewenangan karantina wiayah dalam lingkup kecil itu diserahkan kepada pemerintah daerah dan akan diatur secara detil di dalam PP Karantina Wilayah. Bukan hanya itu, regulasi yang sedang digodok juga banyak mengatur seluk beluk soal social distancing dan sebagainya demi alasan kesehatan.
Mengenai durasi masa karantina, Lembaga Biologi dan Pendidikan Tinggi Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi menjelaskan bisa dilakukan berkisar 3 hingga 7 hari. Bahkan bisa  mencapai 14 hari hingga 20 hari dan sebulan. Jika potensi penularan dianggap masih ada, maka bisa diperpanjang hingga 2-3 bulan.
Setelah ada kabar baik itu, lantas bagaimana nasib kepala daerah yang sudah terlanjur mengambil keputusan. Inisiatif para kepala daerah tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Â
Perlu dipahami, bukan ingin tampil progresif di tengah tidak adanya regulasi atau mitigasi yang jelas dalam menghadapi ancaman virus di wilayahnya. Melainkan sebagai upaya menjaga wilayahnya dari wabah virus yang hingga kini tak mampu dikendalikan negara mana pun itu. Walau pun harus menghadapi gejolak penolakan dari warganya sendiri atas kebijakan yang dinilai semena-mena menghentikan aktivitas dan mata pencahariannya. Â
Sebenarnya mereka meyakini kebijakan bersifat lokalitas itu bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tapi dalam kondisi serba tidak menentu serta ancaman bahaya kemanusiaan, tentu pemangku kebijakan tidak mau tinggal diam melihat virus mengancam masa depan warga di wilayahnya.Â
Andaikan tidak ada inisiatif local lockdown, mungkin sudah banyak warganya menjadi korban atas kekejaman virus asal China ini. Â Kalau sudah begini kondisinya, siapa yang salah?