Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Scandalising of Court" di Sekitar Persidangan

21 Juli 2019   00:56 Diperbarui: 21 Juli 2019   01:11 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membicarakan proses penegakan hukum tentu tidak terlepas dari proses persidangan.  Dalam perjalanan mencari kebenaran, ada tahapan-tahapan yang mesti dipahami serta dibarengi kode etik.

Di dalam pelaksanaan persidangan, tidak boleh ada campur tangan dari pihak manapun,  termasuk pengacara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diperbaharui dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia."

Dengan begitu, proses persidangan tidak terpisahkan dari Kekuasaan Kehakiman. Hal itu juga dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, "Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara."

Meskipun koridor hukum telah diketahui, bukan berarti persidangan berjalan baik. Dimungkinkan ada perilaku yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi jalannya persidangan. Bahkan, di luar persidangan pun juga bisa terjadi.

Seorang pengacara sangat mengetahui hal itu. Sejak mengikuti pendidikan hingga ujian advokat, hal paling dasar lebih dulu diberikan sebagai penguatan pondasi beracara. Tentu kehadiran pengacara di ruang persidangan sangatlah penting dalam mencari kebenaran.

Namun pada faktanya, bukannya mendapat simpatik dari masyarakat, justru jeruji besi menanti kedatangan Pengacara Tomy Winata, Desrizal alias DA. 

Bukan karena kehebatannya dalam mencari kebenaran yang begitu rumit, melainkan perbuatan melawan hukum yang mana melakukan penyerangan terhadap dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, yakni HS dan DB di ruang pengadilan dalam sebuah sidang perkara perdata pada Kamis (18/7/2019).

Alih-alih menunjukkan loyalitas kepada klieannya, aksi penyerangan terhadap hakim mendapat kecamatan dari berbagai pihak. Narasi yang terbangun saat ini seorang pengacara dapat dipidana karena telah melakukan tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh pengacara. Adapula narasi bahwa akan dicabut statusnya sebagai penasehat hukum.

Narasi-narasi tersebut jelas punya dasar pemikiran, tidak sesederhana melakukan tindakan salah lalu dilaporkan dan masuk penjara. Apa yang dilakukan DA kepada 2 hakim merupakan perbuatan yang tergolong dalam contempt of court. 

Maka sudah seharusnya DA mendapat ganjaran hukum. Tapi perlu diperjelas, perbuatan apa yang tergolong dalam istilah tersebut hingga DA bisa diproses hukum. 

Istilah Contempt of court merupakan perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.   Istilah Contempt of Court dalam kasus DA mengacu pada penghinaan terhadap pengadilan.

Adapun jenis perilaku yang tergolong ke dalam Contempt of Court menurut pandangan Prof Oemar Seno Adji meliputi perilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court), Perilaku mengabaikan perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders), Perilaku menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court), Perilaku menghalangi jalannya proses peradilan (Obstructing Justice), Perilaku menghina pengadilan melalui publikasi/pemberitahuan (Sub-Judice Rule).

Dari beberapa poin itu, DA dapat dikategorikan telah melakukan Scandalising the Court yang mana dengan sengaja menyerang hakim. Jelas penyerangan itu mengarah kepada integritas pengadilan serta lembaganya.

Penyerangan itu dilakukan saat majelis hakim membacakan amar putusan. Belum selesai dibacakan, DA berdiri dari kursinya, kemudian melangkah ke mema majelis hakim lalu melepas ikat pinggang dari celana. Tali ikat pinggang itulah yang digunakan DA menyerang anggota majelis hakim. Akibatnya satu hakim terkena dibanguan dahi dan satunya lagi terkena dibagian lengan.

Dalam penyataan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), perbuatan DA otomatis telah melecehkan dan merendahkan martabat badan peradilan. Bahkan juga menyerah lembaga peradiran. 

Olehnya itu, DA harus diberi sanksi berat berupa pencabutan sebagai penasehat hukum. Bahkan, dapat pula dikenakan pasal tentang kekerasan sesuai pasa 212 juncto 351 KUHP.

Terkait pencabutan sebagai penasehat hukum, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso menilai bahwa aksi kekerasan kepada hakim di tengah persidangan sangat menodai martabat peradilan di mata masyarakat. Maka sanksi yang diberikan yakni pencabutan hak sebagai penasehat hukum.

Namun sehubungan dengan tidak adanya aturan dalam KUHP soal ketentuan limitasinya, penjatuhan sanksi mestinya terbatas. Merujuk pada kasus contempt of court di masa lalu yang menjatuhkan sanksi pencabutan hak sebagai penasihat hukum hanya untuk beberapa tahun saja.

Sementara untuk hukuman pidana bagi DA, Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat telah menetapkan DA sebagai tersangka pada 18 Juli 2019 atas insiden di PT Jakarta Pusat.

Memang perjuangan mencari kebenaran itu tidak mudah, lebih-lebih seorang hakim sangat tidak gampang memutuskan satu perkara. Penyerangan DA terhadap  menjadi pelajaran berharga bagi para pengacara di Indonesia. Begitulah proses singkat Scandalising the Court menjerat DA seorang pengacara Tomy Winata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun